Allah "azza wa jalla" diatas 'Arsy diatas langit

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

﴿وَهُوَ اللهُ فِى السَّمَاوَاتِ وَفِى الأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ﴾

“Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.” (QS. Al-An’am: 3)

Seringkali kita dapatkan seorang muslim kalau ditanya: Allah ‘Azza wa Jalla dimana? Dia menjawab: Allah ‘Azza wa Jalla ada di mana-mana lalu beralasan dengan ayat di atas dan semisalnya. Andaikan dia mengetahui tafsir ayat-ayat ini sudah barang tentu dia tidak akan berdalil dengannya untuk mendukung jawabannya yang salah itu.

Ibnu Katsir berkata: (Para ahli tafsir berselisih tentang makna ayat ini dalam beberapa pendapat, namun mereka sebelumnya bersepakat untuk mengingkari pendapat firqah sesat Jahmiyah kelompok yang pertama kali mengatakan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berada di semua tempat, di mana mereka mengartikan ayat tersebut ke makna demikian -Maha Tinngi Allah ‘Azza wa Jalla dari ucapan mereka-.

Tafsir ayat tersebut:

1. Yang paling benar dari semua pendapat yang ada: Dialah ‘Azza wa Jalla yang dipanggil dengan nama Allah ‘Azza wa Jalla oleh semua yang ada di langit dan di bumi. Artinya: semuanya menyembah dan mentauhidkan-Nya, semuanya mengakui ketuhanan-Nya, mereka menamakannya Allah ‘Azza wa Jalla, mereka menyeru-Nya dengan harap dan takut, terkecuali jin dan manusia yang kafir. Penafsiran ini serupa dengan firman-Nya:

﴿وَهُوَ الَّذِي فِى السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِى الأَرْضِ إِلَهٌ﴾

“Dan Dia-lah yang di langit Rabb dan di bumi Rabb.” (QS. Az-Zukhruf: 84)

Artinya: Dialah ilah untuk semua yang ada di langit dan bumi. Dengan demikian maka firman-Nya:

يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ

“Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan.”

Sebagai predikat atau keterangan keadaan-Nya.

2. Tafsiran kedua: Dialah Allah ‘Azza wa Jalla yang mengetahui semua yang ada di langit dan di bumi baik yang rahasia atau nampak. Maka firman-Nya:

يَعْلَمُ

“Dia mengetahui.”

Berkaitan dengan firman-Nya:

فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الأَرْضِ

“di langit maupun di bumi.”

Maknanya: Dialah Allah, Dia ‘Azza wa Jalla mengetahui apa yang rahasia dan apa yang nampak dari kalian, baik kalian yang ada di langit maupun di bumi, Dia ‘Azza wa Jalla mengetahui apa yang kalian perbuat.

3. Firman-Nya:

وَهُوَ اللهُ فِى السَّمَاوَاتِ

“Dan Dialah Allah (Yang disembah) di semua langit.”

Waqaf sempurna, lalu predikat kalimat dimulai dengan firman-Nya:

وَفِي الأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ

“Dan di bumi Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.”

Inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir rahimahullâh. Sedang firman-Nya:

وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ

“dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.”

Artinya: (Mengetahui) semua amalan kalian yang baik maupun yang buruk.)1

Adapun firman-Nya:

﴿وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ﴾

“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al-Hadid: 4)

Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah telah menafsirkan sebagai berikut: (Artinya: Mahamengawasi kalian dan Mahamenyaksikan amalan kalian dimana pun kalian berada, baik di darat maupun laut, malam atau siang, serta di rumah atau di dalam benteng, semuanya berada dalam ilmu Allah ‘Azza wa Jalla sama saja, berada di bawah pandangan dan pendengaran-Nya, Dia ‘Azza wa Jalla mendengarkan ucapan kalian, melihat tempat kalian, mengetahui rahasia dan bisik-bisik kalian.)

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla ada dimana-mana, (jika yang dimaksud adalah) mendengarkan dan melihat kita, maka ini adalah makna yang benar. Sedangkan kalau mereka menghendaki bahwa Dzat-Nya berada di mana-mana, maka sebuah kesalahan besar, sebab di bumi ini ada tempat-tempat najis dan kotor semisal; wc dan tempat pembuangan sampah. Tentunya tidak akan ada seorang muslim berakal yang mengatakan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla ada di tempat tersebut, Maha Tinggi Allah ‘Azza wa Jalla dari ucapan demikian.

Sebagian kaum muslimin mengatakan: Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berada di dalam hati hamba-Nya yang mukmin, mereka bersandar kepada sebuah hadits yang tidak ada asalnya: “Tidaklah cukup buat-Ku langit-Ku dan bumi-Ku, namun yang mencukupi-Ku hanyalah hati hamba-Ku yang mukmin.”

Siapa yang berkata bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tinggal di hati manusia, maka dia lebih kafir daripada Nashrani yang mengkhususkan hal tersebut hanya untuk ‘Isa ‘alaihissalam saja.

Yang benar, Allah ‘Azza wa Jalla berada di atas langit di atas ‘Arsy, dalilnya:

1. Firman Allah ‘Azza wa Jalla:

﴿ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ﴾

“Kemudian Dia naik ke langit.” (QS. Al-Baqarah: 29)

Sesuai dengan tafsir Mujahid dan Abul ‘Aliyah dalam Shahih Al-Bukhari:

(Artinya: Tinggi dan di atas).

2. Sabda Rasulullah shallâllahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang budak wanita: “Di mana Allah?” Wanita itu menjawab: “Di atas langit.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: “Siapa saya?” Wanita itu menjawab: “Muhammad Rasulullah.” Maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada pemiliknya: “Merdekakanlah dia sebab dia seorang yang beriman.”2

Read More...

kisah nenek pemungut daun

ni ada kisah menarik dari sebuah buku yang saya baca. Semoga menjadikan kita semakin mencintai Nabi Muhammad, Rosululloh saw. Alloh huma sholi ala Muhammad wa ala ali Muhammad.

Dahulu di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.

Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang.

Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah isapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. "Jika kalian kasihan kepadaku," kata nenek itu, "Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya."

Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa. Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup. Sekarang ia sudah meniggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.

"Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai," tuturnya. "Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan salawat kepadanya."

Kisah ini saya dengar dari Kiai Madura, D. Zawawi Imran, membuat bulu kuduk saya� merinding. Perempuan tua dari kampung itu bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus. Ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal dihadapan Alloh swt. Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur: Ia tidak dapat mengandalkan amalnya. Ia sangat bergantung pada rahmat Alloh. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat semua alam selain Rasululloh saw?

_____________
Diketik ulang dari buku "Rindu Rosul", karangan Jalaluddin Rakhmat, penerbit Rosda Bandung,� hal 31-33. cetakan pertama September 2001.

Read More...