Cerpen Islami 1

Ketika Mas Gagah Pergi

Karya: Helvy Tiana Rosa

Mas Gagah berubah!
Ya, sudah beberapa bulan belakangan ini Masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah !
Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Teknik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja… ganteng! Mas Gagah juga sudah mampu membiayai kuliahnnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA


Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku kemana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji.

Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak untukku.Saat memasuki usia dewasa kami jadi makin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda bersama teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelucon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak-bahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan, Ancol.

Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya !

“Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih ?”
“Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang serumahku sering membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho ! Gila, berabe khan ?”
“Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku ?”

Dan masih banyak lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku cuma mesam-mesem. Bangga. Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum punya pacar. Apa jawabnya ?

“Mas belum minat tuh ! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati ! He…he…he..” kata Mas Gagah pura-pura serius.

Mas Gagah dalam pandanganku adalah sosok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tapi tak pernah meninggalkan sholat ! Itulah Mas Gagah!

Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah ! Drastis ! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…

–=oOo=–
“Mas Gagah ! Mas Gagaaaaaahhh!” teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras.

Tak ada jawaban. Padahal kata mama Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa arab gundul. Tak bisa kubaca. Tapi aku bisa membaca artinya : Jangan masuk sebelum memberi salam!

“Assalaamu’alaikuuum!” seruku.

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?” tanyanya.
“Matiin kasetnya !” kataku sewot.
“Lho emang kenapa ?”
“Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah ! Memangnya kita orang Arab… , masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.
“Ini nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita !”
“Bodo !”
“Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh dong Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas Gagah sabar. “Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek…, mama bingung. Jadinya ya, di pasang di kamar.”
“Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…, eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!”
“Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…”
“Pokoknya kedengaran!”
“Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus, lho !”
“Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!” aku ngloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Kemana kaset-kaset Scorpion, Wham!, Elton John, Queen, Bon Jovi, Dewa, Jamrood atau Giginya?

“Wah, ini nggak seperti itu, Gita ! Dengerin Scorpion atau si Eric Clapton itu belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lain lah ya dengan senandung nasyid Islami. Gita mau denger ? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok !” begitu kata Mas Gagah.
Oalaa !

–=oOo=–

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma ‘adik kecil’nya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.
Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Sholat tepat waktu, berjama’ah di Masjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip di lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau baca buku Islam.

Dan kalau aku mampir di kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya,”Ayo dong Gita, lebih feminin. Kalau kamu pakai rok atau baju panjang, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba Dik manis, ngapain sih rambut ditrondolin gitu !”

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga nggak pernah keberatan kalau aku meminjam kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu sering memanggilku Gito, bukan Gita ! Eh, sekarang pakai manggil Dik Manis segala!
Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga mama menegurnya.
“Penampilanmu kok sekarang lain, Gah?’
“Lain gimana, Ma ?”
“Ya, nggak semodis dulu. Nggak dandy lagi. Biasanya kamu yang paling sibuk dengan penampilan kamu yang kayak cover boy itu…”
Mas Gagah cuma senyum. “Suka begini, Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun.”

Ya, dalam penglihatanku Mas Gagah jadi lebih kuno dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. “Jadi mirip Pak Gino,” komentarku menyamakannya dengan sopir kami. “Untung saja masih lebih ganteng.”
Mas Gagah cuma terawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu.
Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga sangat kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama atau becanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah, kebingungan. Dan…yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan!! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?

“Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau salaman sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di Sanggar Gita tahu?” tegurku suatu hari. “Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang !”
“Justru karena Mas menghargai dia makanya Mas begitu,” dalihnya, lagi-lagi dengan nada amat sabar. “Gita lihat khan orang Sunda salaman? Santun meski nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!”
Huh. Nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?

Mas Gagah membawa sebuah buku dan menyorongkannya padaku. “Baca!”
Kubaca keras-keras. “Dari ‘Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Rasulullah saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhari Muslim!”

Si Mas tersenyum.
“Tapi Kyai Anwar mau salaman sama mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…,” kataku.
“Bukankah Rasulullah uswatun hasanah? Teladan terbaik?” kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. “Coba untuk mengerti ya, Dik Manis !?”

Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel. Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik ! Aku jadi khawatir. Apa dia lagi nuntut ‘ilmu putih’? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa oleh orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun…, akhirnya aku nggak berani menduga demikian. Mas-ku itu orangnya cerdas sekali! Jenius malah! Umurnya baru dua puluh satu tahun tapi sudah tingkat empat di FTUI! Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…, yaaa akhir-akhir ini ia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.
–=oOo=–

“Mau kemana, Git!?”
“Nonton sama teman-teman.” Kataku sambil mengenakan sepatu. “Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya!”
“Ikut Mas aja, yuk!”
“Kemana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah! Gita kayak orang bego di sana!”

Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu yang lalu Mas Gagah mengajakku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tabligh akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku dilihatin sama cewek-cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya, aku kesana memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang nggak bisa aku sembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.

“Assalaamu’alaikum!” terdengar suara beberapa lelaki.

Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman si Mas ini. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.

“Lewat aja nih, Mas? Gita nggak dikenalin?” tanyaku iseng.

Dulu nggak ada deh teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome!

Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. “Ssssttt !”

Seperti biasa, aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal ke-Islaman, diskusi, belajar baca Al-Quran atau bahasa Arab…, yaaa begitu deh!!
–=oOo=–
“Subhanallah, berarti kakak kamu ikhwan dong!” seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah sebulan ini berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.
“Ikhwan?” ulangku. “Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?” suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
“Huss! Untuk laki-laki ikhwan, untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita,” ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. “Kamu tahu Hendra atau Isa, kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini.”

Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
“Udah deh, Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji! Insya Allah kamu akan tahu meyeluruh tentang dien kita. Orang-orang seperti Hendra, Isa, atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya saja yang mungkin belum mengerti dan sering salah paham.”

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku menjelma begitu dewasa.
“Eh, kapan main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat, Gita…, meski kita kini punya pandangan yang berbeda,” ujar Tika tiba-tiba.

“Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…,” kataku jujur. “Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…”

Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin. “Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan pada Mbak Ana.”
“Mbak Ana ?”
“Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amrik malah pakai jilbab! Itulah hidayah!”
“Hidayah ?”
“Nginap, ya! Kita ngobrol sampai malam sama Mbak Ana!”

–=oOo=–

“Assalaamu’alaikum, Mas Ikhwan…, eh Mas Gagah !” tegurku ramah.
“Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!” kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.
“Dari rumah Tika, teman sekolah,” jawabku pendek. “Lagi ngapain, Mas?” tanyaku sambil mengintari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, ganbar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku ke-Islaman..
“Cuman lagi baca !”
“Buku apa ?”
“Tumben kamu pengin tahu?”
“Tunjukin dong, Mas…buku apa sih?” desakku.
“Eit…, Eiiit !” Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya, dia tertawa dan menyerah. “Nih!” serunya memperlihatkan buku yang sedang dibacanya dengan wajah setengah memerah.
“Nah yaaaa!” aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku ‘Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam’ itu..
“Maaaas…”
“Apa Dik manis?”
“Gita akhwat bukan sih?”
“Memangnya kenapa ?”
“Gita akhwat apa bukan ? Ayo jawab…,” tanyaku manja.

Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara kepadaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami ummatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu jadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal lainnya. Dan untuk petamakalinya setelah sekian lama, aku merasa kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.
Mas Gagah dengan semangat terus berbicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya!!

“Mas kok nangis?”
“Mas sedih karena Allah, Rasul dan Al Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena ummat yang banyak meninggalkan Al-Quran dan Sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di Belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan, dan tidur beratap langit…”
Sesaat kami terdiam. Ah, Masku yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…

“Kok…tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?” tanya Mas Gagah tiba-tiba.
“Gita capek marahan sama Mas Gagah !” Ujarku sekenanya.
“Emangnya Gita ngerti yang Mas katakan?”
“Tenang aja, Gita nyambung kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan hal demikian. Aku ngerti deh meski nggak mendalam.

Malam itu aku tidur ditemani tumpukan buku-buku Islam milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah!
–=oOo=–

Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi sepeti dulu. Meski aktivitas yang kami lakukan berbeda dengan yang dahulu.
Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum. Atau ke tempat-tempat tabligh Akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah, kadang-kadang bila sedikit kupaksa Mama Papa juga ikut.
“Masa sekali aja nggak bisa, Pa…, tiap minggu rutin ngunjungin relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?” tegurku.

Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, “Iya deh, iya!”
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung juga. Soalnya pengantinnya nggak bersanding tapi terpisah! Tempat acaranya juga gitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu dibagikan risalah nikah juga. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran, harus Islami dan semacamnya. Ia juga wanti-wanti agar aku tak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek!
Aku nyengir kuda.

Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku. Soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
“Nyoba pakai jilbab, Git !” pinta Mas Gagah suatu ketika.
“Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol! Lagian belum mau deh jreng!”
Mas Gagah tersenyum. “Gita lebih anggun kalau pakai jilbab dan lebih dicintai Allah. Kayak Mama”.
Memang sudah beberapa hari ini mama berjilbab. Gara-garanya dinasehatin terus sama si Mas, di beliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin sama teman-teman pengajian beliau.

“Gita mau, tapi nggak sekarang…,” kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku kini, prospek masa depan (ceila) dan semacamnya.
“Itu bukan halangan.” Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu kok cepat sekali terpengaruh sama Mas Gagah!
“Ini hidayah, Gita!” kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
“Hidayah? Perasaan Gita duluan deh yang dapat hidayah baru Mama! Gita pakai rok aja udah hidayah!”
“Lho?” Mas Gagah bengong.

–=oOo=–

Dengan penuh kebanggaan, kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara Studi Tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya! Aku yang berada di antara ratusan peserta ini rasa-rasanya ingin berteriak, “Hei, itu kan Mas Gagah-ku !”
Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa! Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga.

Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Rasul. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa sih? Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yamh dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar!
Pada kesempatan itu juga Mas Gagah berbicara tentang muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi.

“Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana taqwa, sebagai identitas muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam sendiri,” kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Tiap katanya kucatat di hati ini.

–=oOo=–

Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdalah.

Aku mau ngasih kejutan buat Mas Gagah! Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapan tasyakuran ultah ketujuh belasku.

Kubayangkan ia akan terkejut gembira, memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberikan ceramah pada acara tasyakuran yang insya Allah mengundang teman-teman dan anak-anak panti yatim piatu dekat rumah kami.

“Mas Ikhwan!! Mas Gagaaaaah! Maaasss! Assalaamu’alaikum!” kuketuk pintu kamar Mas Gagah dengan riang.
“Mas Gagah belum pulang,” kata Mama.
“Yaaaaa, kemana sih, Ma??!” keluhku.
“Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…”
“Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Masjid.”
“Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah inget ada janji sama Gita hari ini,” hibur mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali dengan Mas Gagah.
“Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh !” Mama tertawa.Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.

–=oOo=–

Sudah lepas Isya. Mas Gagah belum pulang juga.
“Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh…” hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
“Nginap barangkali, Ma?” duga Papa.
Mama menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa!”
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.
“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinggg !!” Telpon berdering.

Papa mengangkat telepon. “Halo, ya betul. Apa? Gagah???”
“Ada apa , Pa?” tanya Mama cemas.
“Gagah…, kecelakaan…, Rumah Sakit… Islam…,” suara Papa lemah.
“Mas Gagaaaaaahhh!!!” Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.

Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.

–=oOo=–

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Tangan, kaki, kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar, sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika, sedang kondisi Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami untuk masuk ke dalam ruangan.

“Tapi saya Gita, adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau lihat saya pakai jilbab iniii!” kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku, “Sabar, Sayang…, sabar.”
Di pojok ruangan papa tampak serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.
“Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?” tanyaku. “Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada syukuran Gita kan?” air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding putih rumah sakit. Dan dari kamar kaca kulihat tubuh yang biasa gagah enerjik itu bahkan tak bergerak!
“Mas Gagah, sembuh ya, Mas…, Mas…Gagah…, Gita udah jadi adik Mas yang manis. Mas… Gagah…,” bisikku.

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit.. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…, Gita, Mama dan Papa butuh Mas Gagah…, umat juga.”

Tak lama dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. “Ia sudah sadar dan memanggil nama ibu, bapak, dan Gi…”
“Gita..” suaraku serak menahan tangis.
“Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya seperti permintaannya.

Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…, lukanya terlalu parah,” perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!
“Mas…, ini Gita, Mas…,” sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai.. jilbab,” lirihku. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya.
Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.
“Dzikir…, Mas,’ suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat wajah Mas Gagah yang separuhnya tertutup perban. Wajah itu begitu tenang…

“Gi…ta…”
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali!
“Gita di sini, Mas…”
Perlahan kelopak matamya terbuka. Aku tersenyum.
“Gita… udah pakai… jilbab…,” kutahan isakku.
Memandangku lembut, Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdalah.
“Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…,” ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…, sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali!
Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan Mas Gagah tampaknya menginginkan kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas Gagah semakin pucat. Tapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia juga masih bisa mendengar apa yang kami katakan meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.

Kuusap setitik lagi airmata yang jatuh. “Sebut nama Allah banyak-banyak…, Mas,” kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup. Tapi sebagai insan beriman, seperti juga yang diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.
“Laa…ilaaha…illa…llah…, Muham…mad…Ra…sul…Al…lah…,” suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk kami dengar.
Mas Gagah telah kembali pada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya.

Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi.
Selamat jalan, Mas Gagah !

–=oOo=–

(Epilog)

Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi,
Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun Sayang,

Mas Ikhwan, eh Mas Gagah !

Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku.

Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, Aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Ilahi yang selamanya tiada kudengar lagi. Hanya wajah para Mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema di ruang ini…

Setitik air mataku jatuh lagi.

“Mas, Gita akhwat bukan sih?”
“Ya, Insya Allah akhwat!”
“Yang bener?”
“Iya, dik manis!”
“Kalau ikhwan itu harus ada jenggotnya, ya?!”
“Kok nanya gitu?”
“Lha, Mas Gagah ada jenggotnya!”
“Ganteng kan?”

“Uuu! Eh, Mas, kita kudu jihad, ya? Jihad itu apa sih?”
“Ya always dong ! Jihad itu… “

Setetes, dua tetes, air mataku kian menganak sungai.
Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan.
Selamat jalan, Mas Ikhwan! Selamat jalan, Mas Gagah!
HTR, Depok, 1993


Read More...

Kisah Ayyash dan Ayesha

"Menikah ?"
"Ya.."
"Tentu", jawab Ayesha tanpa ragu.
"Pertimbangkan dulu. Jangan cepat ambil keputusan."
Bibinya berkata benar. Ayesha sedikit tersipu, tangannya membenahi kebaya yang dipakainya dengan rikuh.
"Dengan siapa, Ammah ?"

Wajah lembut itu tiba-tiba mengeras. Kedua matanya mendadak meyembung. Mungkin karena air mata yang siap turun, entah kenapa. Luapan bahagiakah,karena keponakannya yang diurus sejak kecil ini akhirnya ada yang meminang ?
Ayesha menunggu jawaban dari ammahnya. Tapi beberapa kejap hanya dilalui gelombang senyap.

"Ammah... dengan siapa ?"
Pandangan tajam wanita berumur itu menembus bola mata Ayesha. Seperti menimbang-nimbang kesiapan keponakan yang dicintainya itu, menikah. Ayesha membalas pandang, lebih karena ia tak mengerti kenapa pernikahan, kalau memang itu yang akan terjadi padanya, tak disambut ammah dengan riang, seperti pernikahan pada umumnya.
"Dengan Ayyash !" Ayyash ?

Ammah mengangguk. Wajahnya pucat, namun terkesan lega.
Biarlah...biarlah Ayesha yang memutuskan.. .ini hidupnya. Suara hati wanita itu bicara.
Di depannya tubuh Ayesha seperti kaku. Seolah tak percaya. Senang, tapi... juga tahu apa yang akan dihadapinya. Berita itu mungkin benar. Yang jadi pertanyaan, siapakah dia ?
"Kau pikirkan dulu, ya? Ia memberi waktu sampai tiga hari. Katanya lebih cepat lebih baik."
Ayesha masih tak bergerak. Pandangannya menembus jendela, meyisiri rumah-rumah di lingkungannya, dan debu tebal yang terembus di jalan.
Pernikahan.. .sungguh penantian semua gadis. Dengan Ayyash pula, siapa yang keberatan? Tapi semua pun tahu, apa arti sebuah pernikahan di Palestina.
Tantangan, perjuangan lain yang membutuhkan kesiapan lebih besar. Terutama bagi setiap gadis, yang menikahi pemuda pejuang macam Ayyash!

***



Dulu sekali, sewaktu kecil, ia tak memungkiri, kerap memperhatikan Ayyash dan teman-temannya dari balik kerudung yang biasa ditutupkan ke wajah, jika mereka kebetulan berpapasan. Mereka bertetangga. Begitulah Ayesha mengenal Ayyash, dan melihat bocah lelaki yang usianya lebih tua lima tahun darinya, tumbuh dewasa.

Ayah Ayyash salah satu pemegang pimpinan tertinggi di Hamas, sebelum tewas dalam aksi penyerangan markas tentara Israel. Ibunya, memimpin para wanita Palestina dalam berbagai kesempatan, mencegat, dan mengacaukan barisan tentara Yahudi, yang sedang melakukan pengejaran atas pejuang intifadah. Mereka biasa muncul tiba-tiba dari balik tikungan yang sepi, atau memadat di pasar-pasar, dan menyulitkan pasukan Israel yang mencari penyusup.

Bukan tanpa resiko, karena semua pun tahu, para tentara itu tak menaruh kasihan pada perempuan, atau anak-anak. Para perempuan yang bergabung, menyadari betul apa yang mereka hadapi. terkena tamparan atau tendangan, bahkan popor senapan, hingga tubuh mengucurkan darah, bahkan terlepas nyawa, adalah taruhannya.

Ayesha sejak lima tahun yang lalu, tak pernah meninggalkan satu kalipun aksi yang diadakan. Ia iri dengan para lelaki yang mendapat kesempatan lebih memegang senjata. Itu sebabnya gadis berkulit putih kemerahan itu, tak ingin kehilangan kesempatan jihadnya, sejak usia belia.

Tiga tahun lalu, ketika ibunda Ayyash syahid, dalam satu aksinya, setelah sebuah peluru mendarat di dahinya, mereka semua datang, juga Ayesha, untuk menyalatkan wanita pejuang itu.

Pedihnya kehilangan ummi, Ayesha menyadari perasaan berduka yang bagaimanapun memang manusiawi. Begitu kagumnya ia melihat ketegaran Ayyash, mengatur semua prosesi, hingga tanah menutup dan memisahkannya dari ibunda tercinta. Tak ada sedu sedan, tak ada air mata. Hanya doa yang terucap tak putus. begitulah Ayyash menghadapi kehilangan abi, saudara-saudara lelakinya, adik perempuannya yang paling kecil, lalu terakhir ummi yang dikasihi. Begitu pula yang dipahami Ayesha, cara pejuang menghadapi kematian keluarga yang mereka cintai.

Dan kini, Ayesha dua puluh dua tahun. masih menyimpan pendar kekaguman dan simpati yang sama bagi Ayyash. Bocah lelaki bermata besar itu sudah menjelma menjadi lelaki gagah, dengan kulit merah kecoklatan, hidung bangir, dan mata setajam elang. Semangat perjuangan dan ketabahan lelaki itu sungguh luar biasa. Sewaktu kedua abangnya melakukan aksi bom syahid, meledakkan gudang logistik Israel, ia hanya mengucapkan innalillahi, sebelum bangkit dan menggemakan Allahu Akbar, saat memasuki rumah dan mengabarkan berita itu pada umminya.

Lalu ketika Fatimah, adiknya yang berpapasan dengan tentara, diperkosa, dan dibunuh sebelum dilemparkan ke jalan dengan tubuh tercabik-cabik. Ayyash masih setabah sebelumnya. Padahal siapapun tahu, cintanya pada Fatimah, bungsu di keluarga mereka.

Ayesha tak mengerti terbuat dari apa hati lelaki itu. Setelah semua kehilangan, tak ada endam yang lalu membuatnya membabi buta atau meluapkan amarah dengan makian kotor. Ayyash menerima semua itu dengan keikhlasan luar biasa. Hanya matanya yang sesekali masih berkilat, saat ada yang menyebut nama adiknya. Di luar itu, hanya keshalihan, dan ketaatannya pada koordinasi gerak Hamas, yang kian bertambah. Begitu, dari hari ke hari

****

Mereka berhadapan. Pertama kali dalam hidupnya ia bisa bebas menatap wajah lelaki itu dari jarak dekat. Ayyash yang tenang. Hanya bibirnya yang menyunggingkan senyum lebih sering, sejak ijab kabul diucapkan, meresmikan keberadaan keduanya.

Ayyash yang tenang dan hati Ayesha yang bergemuruh. Bukan saja karena kebahagiaan yang meluap-luap, tapi oleh sesuatu yang lain. Sebetulnya hal itu ingin disampaikannya pada lelaki yang kini telah menjadi suaminya.

Namun saat terbayang apa yang telah dihadapi Ayyash, dan senyum yang dilihatnya pertama kali begitu cerah. Batin Ayesha urung. Biarlah...nanti- nanti saja, atau tidak sama sekali, pikirnya. Ia tak mau ada yang merisaukan hati lelaki itu, terlebih karena waktu yang mereka miliki tak banyak. Bahkan sebentar sekali. Dua hari lalu, Ayyash sendiri yang meyampaikan kebenaran berita itu, niatan lelaki berusia dua puluh tujuh tahun, yang sudah selama dua pekan ini dibicarakan dari mulut ke mulut.

"Ayyash mencari istri ?"
"Ia akan menikah secepatnya, akhirnya "
"Tapi siapa yang akan menerima pernikahan berusia sehari semalam ?"
Percakapan gadis-gadis di lingkungan mereka. Awalnya Ayesha tak mengerti.
"Kenapa sehari semalam ?", tanyanya pada ammahnya.
"Sebab, lelaki itu sudah menentukan hari kematiannya, Ayesha. Kini tinggal sepekan lagi. Waktunya hampir habis."

Ayesha ingat ia tiba-tiba menggigit bibir menahan sesak yang tiba-tiba melanda. Ayyash pasti sudah menyanggupi melakukan aksi bom bunuh diri,seperti dua saudaranya dahulu. Cuma itu alasan yang bisa diterima, kenapa pejuang yang selama ini terkesan tak peduli dan tak pernah memikirkan untuk menikah, tiba-tiba seolah tak sabar untuk segera menikah.

"Saya ingin menghadap Allah, yang telah memberi begitu banyak kemuliaan pada diri dan keluarga saya, dalam keadaan sudah menyempurnakan separuh agama. Kalimat panjang lelaki itu, wajahnya yang menunduk, dan rahangnya yang terkatup rapat. Menunggu jawaban darinya.

Ayesha merekam semua itu dalam ingatannya. Dua hari lalu, saat khitbah dilangsungkan.
"Ya..."jawabannya memecah kesunyian. Ammah serta merta memeluknya dengan wajah berurai air mata. Bahagia berbaur kesedihan atas keputusan Ayesha.
Membayangkan keponakannya yang selalu dibanggakan karena semangatnya yang tak pernah turun, akan menjalani pernikahan. Yang malangnya, bahkan lebih pendek dari umur jagung. Berganti-ganti Ayesha melihat wajah ammah yang basah air mata, lalu senyum dari bibir Ayyash yang tak henti melantunkan hamdalah. Di depan Ayesha, Ayyash tampak begitu bahagia, karena tiga hari, sebelum tugas itu dilaksanakan, ia berhasil menemukan pengantinnya. . Seorang bidadari dalam perjuangan yang ia hormati, dan kagumi kekuatan mental maupun fisiknya. Ya, Ayesha.

Mereka masih bertatapan. Saling menyunggingkan senyum. Ayesha yang Wajahnya masih sering bersemu dadu, tampak sangat cantik di mata Ayyash. Pengantinnya, bidadarinya. ..kata-kata itu diulangnya berkali-kali dalam hati. Namun betapapun cantiknya Ayesha, Ayyash tak hendak melanggar janji yang ditekadkan jauh dalam sanubarinya. "Ayesha...saya tak menginginkanmu, bukan karena saya tak menghormatimu."

Senyum Ayesha surut. Matanya yang gemintang menatap Ayyas tak berkedip, menunggu kelanjutan kalimat lelaki itu. Ini malam pertama mereka, dan setelah ini, tak akan ada malam-malam lain. Besok selepas waktu dhuha,lelaki itu akan menemukan penggal akhir hidupnya,menemui kekasih sejati. Allah Rabbul Izzati. Tak layakkah Ayesha memberikan yang terbaik baginya ? Bagi ia yang akan menjelang syahid ?

Pendar di mata Ayesha luluh. Ayyash mendongakkan dagunya, tangannya yang lain menggenggam jari-jari panjang Ayesha, seakan mengerti isi hati istrinya.

"Saya mencintaimu, Ayesha. Dan saya meridhai semua yang telah dan akan Ayesha lakukan selama kebersamaan ini dan setelah saya pergi. Saya percaya dan berdoa, Allah akan memberimu seorang suami yang lebih baik, selepas kepergian saya."

Ayesha tersenyum. Menyembunyikan hatinya yang masih gemuruh. Seandainya ia bisa menceritakannya pada Ayyash. Tapi ia tak sanggup. "Tak apa. Saya mengerti." Cuma itu yang bisa dikatakannya pada Ayyash. Suasana sekitar hening. Langit tanpa bulan tak mempengaruhi kebahagiaan di hati Ayyash. Bulan, baginya, malam ini telah menjelma pada kerelaan dan keikhlasan istrinya.

"Saya ingin, Ayesha bisa mendapatkan yang terbaik." Lelaki itu melanjutkan kalimatnya. "Dan karenanya saya merasa wajib menjaga kehormatanmu. Kita bicara saja, ya? Ceritakan sesuatu yang saya tak tahu, Ayesha."

Ayesha menatap mata Ayyash, lagi. Disana ia bisa melihat kegarangan dan keteduhan melebur satu. Sambil ia berpikir keras apa yang bisa ia ceritakan pada lelaki itu ? Tak lama dari bibir wanita itu meluncur cerita-cerita lucu tentang masa kecil mereka. Canda teman-teman mainnya, dan kegugupannya saat pertama berhadapan dengan Ayyash. Juga jari-jari tangannya yang berkeringat saat ia mencium tangan Ayyash pertama kali.

Betapa ia hampir terjatuh karena kram, akibat duduk terlalu lama, ketika mencoba bangun menyambut orang-orang yang datang menyalami mereka tadi pagi. Di antara senyum dan derai tawa suaminya, Ayesha masih berpikir tentang lelaki yang duduk di hadapannya. Sungguh, ia ingin membahagiakan Ayyash,dengan cara apapun. Melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Ayyash,membuat Ayesha tak habis pikir. Kenapa kebahagiaan orang lain, bisa membuatnya begitu bahagia ? Tapi inilah kebahagiaan itu, bisiknya sesaat setelah mereka menyelesaikan sholat malam dan tilawah bersama. Kali pertama dan terakhir. Kebahagiaan bukan pada umurnya, tapi pada esensi kata bahagia. Dan Ayesha belum pernah sebahagia itu sebelumnya.

Mereka masih belum bosan menatap satu sama lain, dan berpegangan tangan. Saat ia merebahkan diri di dada Ayyash setelah sholat subuh, lelaki itu tak menolak "Biarkan saya berbakti padamu, Ayyash" Ia ingat Ayyash menundukkan wajah dalam, seperti berpikir keras, sebelum kemudian mengangguk dan menerimanya.

Beberapa jam lagi, Ayesha menghitung dalam hati. Kedua matanya memandangi wajah Ayyash yang pulas di depannya. Tinggal beberapa jam lagi, dan mereka akan tinggal kenangan. Dirinya dalam kenangan Ayyash, Ayyash dalam kenangan orang-orang sekitarnya.

Ketika fajar mulai menampakkan diri, Ayesha yang telah rapi, kembali menatap Ayyash yang tertidur pulas, mencium kening dan tangan lelaki itu, sebelum meninggalkan rumah dengan langkah pelan.

***


Ayyash terbangun oleh gedoran di pintu. Pukul setengah tujuh pagi. Kerumunan di depan rumahnya. pagi pertama pernikahan mereka. Ada apa ?
"Ayyash... istrimu, Ayesha." Ada titik air meruah di wajah ammah Ayesha. Lalu suara-suara gemang berdengung. Saling meningkahi, semua seperti tak sabar menyampaikan berita itu padanya.

"Setengah jam yang lalu, Ayyash. Ledakan...Ayesha yang melakukannya. .."
"Gudang peluru itu. Bunyi...bagaimana kau bisa tak mendengar ?"
Ayyash merasa tubuhnya mengejang. Istrinya...Ayesha mendahuluinya ? Kepalan tangannya mengeras. Mengenang semua keceriaan dan kejenakaannya, serta upaya Ayesha membahagiakannya semalam. Jadi...Masya Allah ! Istrinya kini... benar-benar bidadari.

Pikiran itu menghapuskan rasa sedih yang sesaat tadi mencoba menguasai hatinya. meski senyum kehilangan belum lepas dari wajah lelaki itu, sewaktu ia undur diri, dari kerumunan di depan rumah. Keramaian yang sama masih menantinya dengan sabar, ketika tak lama kemudian lelaki itu berkemas, lalu dengan ketenangan yang tak terusik, melangkahkan kakinya meninggalkan rumah.

Waktunya tinggal sebentar. Tentara Israel pasti akan melakukan patroli kemari, sesegera mungkin, setelah apa yang dilakukan Ayesha. Ia harus segera pergi. Ayyash mempercepat langkahnya. teman-temannya sudah menunggu di dalam jip terbuka yang membawa mereka berempat.

Sepanjang jalan, tak ada kata-kata. semua melarutkan diri dalam zikir dan memutihkan niatan. Operasi hari ini rencananya akan menghancurkan salah satu pusat militer Israel di daerah perbatasan. Memimpin paling depan, langkah Ayyash sedikitpun tak digelayuti keraguan, saat diam-diam mereka menyusup. Allah memberinya bidadari, dan tak lama lagi, ia akan menyusulnya.

Pikiran bahagianya bicara. Ayyash tersenyum, mengaktifkan alat peledak yang meliliti badannya. Ini, untuk perjuangan.. . Dan bumi yang terharu atas perjuangan anak-anaknya, pun meneteskan air mata. Hujan pertama pagi itu, untuk Ayyash dan Ayesha.

------

Apa yang anda tangkap dari kisah tersebut?


Read More...

Kisah Pohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih.

"Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu.

"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki itu.

"Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.

" Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.

" Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang.

"Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon apel.

"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu.

"Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?" "Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel. Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.



Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.

"Ayo bermain-main lagi deganku," kata pohon apel.

"Aku sedih," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?" "Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah.

" Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian. "Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu."

"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu," jawab anak lelaki itu. "Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata pohon apel. "Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak lelaki itu.

"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki. "Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu." "Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang." Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua kita. Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.
Sebarkan cerita ini untuk mencerahkan lebih banyak rekan. Dan yang terpenting: cintailah orang tua kita. Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.

Read More...

Yang Pecah Di Bawah Purnama

“Terdengar jeritan tepat setelah kumandang adzan subuh selesai. Seorang perempuan berbadan kurus, berumur tiga puluh dua tahun, kepalanya tertutup kerudung warna hitam, mendekap bocah perempuan yang mengigil ketakutan sambil menangis sesenggukan. Tubuh perempuan itu bergetar hebat—entah karena mencoba menahan tangis atau amarah. Di depan mereka, mayat seorang laki-laki terbujur tak bernyawa, bersimpah darah, dengan luka di sekujur tubuhnya. Di dahi laki-laki itu ada sebuah lubang sebesar jari kelilingking, yang masih mengeluarkan darah segar, yang menetes ke lantai.

” Raihana terdiam sejenak, mengatur nafasnya yang setengah memburu, kemudian melanjutkan kata-katanya, “Itulah saat aku dan ibuku melihat mayat ayah tergeletak di beranda rumah, tepat di depan pintu masuk. Saat itu, umurku baru sembilan tahun. Meski sudah tiga belas tahun yang lalu peristiwa itu terjadi, tapi masih menganga lebar dalam benakku.” Sunyi suasana dalam ruang penjara. Diani, kawan satu sel Raihana hanya diam membatu. Matanya menatap awas jeruji-jeruji besi yang telah memisahkan mereka dengan kebebasan. Mata Diani yang agak lebar terlihat menyala seperti memendam bara, yang setiap saat bisa berubah menjadi kobaran. Terlihat kaku. Wajahnya seakan-akan menahan beban masa lalu yang begitu berat. Setelah mendesah panjang, Diani kemudian berkata, “Memang bajingan tentara-tentara itu. Mereka telah mengambil semua yang kita miliki, termasuk harga diri kita. Ayah kita diperlakukan seperti anjing, dibantai dengan semena-mena dan mayatnya dibuang seenaknya. Sementara ibu kita, saudara perempuan kita dan kita sendiri menjadi korban perkosaan. Rakyat Aceh tidak memiliki apa-apa lagi sekarang, selain rantai penindasan itu sendiri.”



Suasana sunyi mengambang. Dari arah luar, terdengar suara lonceng yang ditalu sebelas kali, memukul jantung sunyi. Raihana bangkit dari tempat tidurnya yang hanya berupa tembok dingin beralas selembar tikar, yang telah sobek di dimakan usia. Dia berjalan menuju jeruji besi. Dicengkramnya jeruji itu dengan tangan-tangannya yang mungil, cengkraman yang kecil tapi kuat.
“Sejak kapan kau bergabung dengan GAM?” tanya Raihana tanpa menoleh pada Diani.
“Sejak suamiku diculik dan kemudian dibunuh oleh orang-orang berambut cepak. Sebelumnya, aku tidak peduli dengan GAM dan tentara. Terus terang, aku sudah bosan dengan peperangan yang tiada henti ini. Suara tembakan, kabar penculikan, mayat-mayat yang baru ditemukan, berita perkosaan, benar-benar membuat hatiku luruh. Tapi kejadian malam itu akhirnya memaksaku untuk memilih: berpihak pada GAM atau tentara. Dan ternyata, aku memilih berpihak pada GAM. Aku kemudian menjadi Inong Balee.” “Memangnya, suamimu anggota GAM?” “Bukan. Dia sebetulnya hanya petani biasa. Kami mempunyai tanah warisan yang tidak begitu luas, tapi cukup untuk memenuhi hidup sehari-hari. Tanah itu kami tanami dengan tanaman kebutuhan sehari-hari. Kehidupan kami sederhana, tapi kami bahagia. Suamiku seorang pekerja keras, walau cuma lulusan SD.”

“Kenapa suamimu ditangkap?”
“Dikhianati kakaknya sendiri.”
“Kakaknya sendiri?”
“Ya. Setelah kematian ibu suamiku, kakaknya ingin menguasai seluruh harta warisan. Kakak suamiku kemudian menyebar kabar bohong bahwa suamiku anggota GAM. Sebetulnya, itu merupakan buntut dari pertengkaran yang sudah berlangsung selama tiga tahun. Kakak suamiku menghendaki agar dia mendapat jatah warisan yang lebih besar. Tapi orang tuanya malah membagi tanah warisan menjadi dua sama besar.” Diani berhenti sejenak, matanya kelihatan menerawang. Mungkin ia sedang mengingat-ingat peristiwa yang terjadi empat tahun lalu

“Aku ingat, waktu itu hari minggu. Ketika sedang di ladang, suamiku bertemu dengan Dulah, salah seorang anggota GAM yang paling dicari-cari di kampung kami. Tepat malam harinya setelah pertemuan itu, lima orang berbaju doreng dengan senjata laras panjang bersama kakak suamiku, mendatangi rumah kami. Kebetulan aku sendiri yang membuka pintu yang digedor-gedor dari luar. Begitu pintu kubuka, mereka langsung masuk, mengobrak abrik seisi rumah, memasuki kamar kami dan akhirnya menemukan suamiku yang sedang sholat. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, suamiku yang sedang rukuk diberondong peluru dari belakang. Ia hanya sempat mengaduh sebentar dan kemudian roboh. Sajadahnya yang penuh noda darah masih kusimpan hingga kini,” kata Diani dengan suara yang pelan, tapi penuh amarah.

Mereka berdua terdiam. Sepi mengambang lagi. Terlihat butiran-butiran air mata di pipi Diani. Segera dia menghapus air mata itu agar tidak terlihat Raihana yang berjalan menuju tempat tidurnya.
“Sebagai tentara GAM, pernahkah kau membunuh?” tanya Raihana setelah membetulkan letak kerundung kremnya, yang bermotif bunga-bunga.
“Pernah, sekali.”
“Siapa yang kau bunuh?”
“Kakak suamiku.”
“Kakak suamimu?” Raihana berusaha menyakinkan apa yang baru didengarnya. Ditatapnya mata Diani lekat-lekat.
“Ya. Pada sebuah malam, aku cegat dia dalam perjalan pulang menuju rumahnya. Kuberondong tubuhnya dengan peluru yang keluar dari AK 47 dan dia pun mati seketika. Setelah mati, kucongkel kedua bola matanya. Sekarang, bola mata itu masih disimpan oleh temanku yang ada di luar.” Diani terdiam sejenak, mencoba menahan emosinya.
“…..”
“Sebetulnya, itulah motivasiku ketika pertama kali masuk GAM: membalas dendam. Tapi setelah aku bergerilya dari satu tempat ke tempat lain, dan bertemu dengan perempuan-perempuan yang kehilangan suaminya, perempuan yang baru diperkosa oleh tentara, dan menemukan banyak tengkorak kepala rakyat Aceh di bukit tengkorak, aku akhirnya jadi benar-benar berjuang untuk rakyat Aceh,” kata Diani dengan penuh kesungguhan.
“Kau sudah punya anak?”
“Waktu suamiku ditembak, aku sedang hamil delapan bulan. Sekarang umur anak perempuanku sudah tiga tahun lebih. Aku titipkan dia pada ibuku,” Diani mendesah. “Sering kali aku merindukannya. Hanya tiga bulan dia sempat kususui,” kata Diani datar, mencoba memendam kerinduan pada buah hatinya.
Malam semakin larut. Suasana dalam penjara benar-benar sepi. Kadang-kadang kalau angin sedang bertiup kencang, terdengar aliran sungai di samping penjara. Memang, penjara itu terletak di pinggir Kali Panayong yang airnya akan berkilau setiap purnama menatapnya.“Kau belum mengantuk?” kata Diani memecah kesunyian malam.

Raihana yang sedang berusaha mengusir kecoak yang berjalan di dekat kakinya menjawab, “Sejak masuk dalam penjara, aku jadi sulit tidur.”
“Aku juga begitu ketika pertama kali masuk penjara. Rasanya aneh. Kita yang biasanya bergererilya dari hutan satu ke hutan yang lain, tiba-tiba harus hidup dalam ruangan sesempit ini. Kebebasan memang tidak bisa dibayar oleh apapun.” Diani batuk-batuk.“Kulihat kau sering menulis di malam hari. Menulis apa?” Diani bertanya lagi.“Aku suka menulis puisi. Itu kulakukan untuk membunuh rasa sepi yang sering datang menyerangku.”
“Oh. Kau sendiri ditangkap karena apa?”
“Demonstrasi. Aku dan kawan-kawanku membakar gambar Mega-Hamzah pada tanggal 16 Juni 2002 kemarin. Setelah demo itu, aku kemudian ditangkap.“Aku juga mendengar berita itu. Ternyata, kau ya yang memimpin.”
“Ya, aku. Oh iya, aku mau tanya. Apa sebagian besar yang dipenjara di sini anggota GAM juga?”
“Ya, begitulah. Tapi banyak juga yang sebetulnya tidak ada sangkut pautnya dengan GAM. Coba kau lihat perempuan itu.” Diani menunjuk seorang tahanan perempuan yang ada di depannya.
“Kenapa dengan dia? Aku lihat siang tadi, dia hanya berdiri sambil menghormat dan menghadap ke arah dinding.”“Dia cuma ibu rumah tangga biasa. Anaknya-lah yang dituduh sebagai anggota GAM. Selama berbulan-bulan, anaknya itu dicari-cari tentara dan hingga kini belum juga ditemukan. Maka, perempuan itulah yang dijadikan sandera.”
Lantas?”
“Dia dibawa ke Kantor Koramil dan dikerangkeng di sana. Setiap jam tujuh pagi sampai jam dua belas siang, dia disuruh menghormat bendera merah putih. Sorenya, jam empat sampai magrib juga diharuskan melakukan hal yang sama.” Jadi tadi siang itu, dia berdiri sambil menghormat karena masih mengingat kebiasannya waktu ditahan di Koramil itu?” “Mungkin. Setelah tiga bulan ditahan disana, dan mengalami tekanan demi tekanan, akhirnya perempuan itu jadi gila sampai saat ini.” Keduanya terdiam, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Udara di dalam sel semakin dingin menggigit. Raihan maupun Diani kelihatan sama-sama agak menggigil.
“Aku tidur dulu ya,” kata Diani datar. “ Ya.” Raihana duduk terpekur, bersandar pada dinding penjara. Beberapa kali tangannya digerak-gerakkan untuk mengusir nyamuk yang berterbangan di sekitar kepalanya, sambil sesekali mendesah.
***
Setahun yang lalu, Raihana cuma perempuan biasa. Seperti remaja-remaja lainya, dia sering berkumpul dengan teman-temannya sesama perempuan dan bergosip tentang apa saja—mulai dari laki-laki idaman sampai kadang-kadang juga bintang sinetron atau bintang film India, seperti Sharukh Khan.
Perubahan dalam dirinya mulai terjadi ketika dia menjadi mahasiswi Universitas Syahkuala, Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan, jurusan bahasa Inggris—dia memilih jurusan itu karena sejak SMA sudah tergila-gila dengan karya Shakespeare, terutama Romeo and Juliet, dan Hamlet. Disana, Raihana mengenal Hidayat, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syahkuala angkatan ’97, yang kemudian mengenalkannya pada dunia gerakan mahasiswa. Hidayat sempat menjadi kekasihnya walau tidak lama—laki-laki itu ternyata lebih memilih perempuan lain. Meski kecewa, sebetulnya Raihana masih menyimpan sisa cintanya, hingga kini. “Tidak ada perempuan yang mau diduakan, tidak juga ibumu,” begitu Raihana ketika perpisahannya dengan Hidayat terjadi. Kisah cintanya bersama Hidayat memang sudah berakhir. Namun cinta Raihana terhadap dunia gerakan mahasiswa ternyata bertambah dalam—apalagi ketika melihat keadaan rakyat daerahnya yang semakin menderita. Raihana kemudian menjadi aktivis perempuan yang aktif dan disegani.
***
Malam terus merangkak. Diani kelihatan sudah tertidur pulas, namun tidak demikian dengan Raihana. Dari sudut, ia sedang memandangi Diani, kawan seselnya yang belum lama dia kenal, tapi di antara mereka berdua seperti sudah ada rajutan benang yang kuat. Mungkin penderitaan dan penindasan yang menjadikan mereka berdua menjadi dekat. Dan mungkin itu juga yang membuat Raihana mau bercerita secara terbuka pada Diani tentang apa saja, termasuk tujuan-tujuan politik organisasinya.
Suasana yang sepi kemudian menjadi agak gaduh ketika terdengar pintu gembok bagian luar dibuka. Setelah itu, disusul terdengar suara beberapa langkah kaki yang berat, yang terpantul-pantul di sepanjang lorong penjara. Mendengar itu, Raihana turun dari tempat tidurnya, berjalan menuju jeruji besi, membelalakkan matanya dalam gelap, berusaha melihat siapa yang datang. Namun, tidak dilihatnya siapa-siapa. Barulah beberapa saat kemudian, tampak tiga orang laki-laki berbadan tegap berjalan ke arahnya. Sebelum tiga laki-laki itu benar-benar mendekat dan memergokinya sedang melongokkan kepala di antara jeruji, Raihana bergegas kembali ke tempat tidurnya, dan pura-pura tidur. Tidak lama kemudian, terdengar gembok pintu sel Diani dipukul-pukul dengan tongkat besi sambil disertai teriakan, “Bangun!Bangun!” Baik Raihana yang pura-pura tidur maupun Diani yang benar-benar tertidur sama-sama bangun. Diani kelihatan agak kaget, sementara Raihana yang sebetulnya sudah tahu kedatangan tiga orang itu, yang kini berdiri persis di depan pintu selnya, pura-pura mengucek-ngucek mata.
“Ayo cepat bangun!” terdengar teriakan lagi. “Siapa yang namanya Raihana?” kata lelaki berbadan agak gemuk, dengan kumis melintang di atas bibirnya.
“Saya Pak,” jawab Raihana. “Ayo ke sini. Segera ikut kami,” kata lelaki bertubuh jangkung dan bermata lebar.
Dengan pelan, Raihana melangkah menuju pintu sel. Seorang lelaki agak tua yang rambutnya sudah banyak ubannya, dan pekerjaan sehari-hari memang menjadi sipir di penjara ini, membuka gembok. Terdengar pintu sel terbuka. Raihana kemudian dipersilahkan keluar. “Barang saya perlu dibawa, Pak?” tanya Raihana sebelum keluar. “Tidak usah!” kata lelaki berbadan agak gemuk tadi. Dalam benak Raihana muncul pikiran kalau dirinya mungkin akan diintrograsi. Memang sudah biasa introgasi tengah malam dilakukan, ketika tahanan masih dalam keadaan bingung dan lemas karena baru bangun tidur. Sebelum keluar dari selnya, Raihana sempat menoleh sebentar ke arah Diani yang hanya duduk tertunduk di pinggir tempat tidurnya. Pintu sel digembok kembali. Langkah empat orang itu terdengar semakin lama semakin jauh, meninggalkan para tahanan yang masih tertidur pulas, dan beberapa yang tampak mengintip takut-takut dari balik sel. ***
Setelah menempuh perjalan setengah jam, Rahaina dan beberapa orang yang membawanya sampai di sebuah perkebunan. Rupanya setelah dijemput dari selnya tadi, Raihana langsung dibawa pergi meninggalkan LP. Mobil Kijang yang membawanya berhenti di pinggir jalan. Di bawah sinar bulan purnama yang menerangi jalanan setapak, bayangan mereka kadang tampak, kadang menghilang. Mereka seakan berjalan tanpa suara, hanya bunyi serangga yang terdengar di sepanjang perjalanan. Raihana berjalan paling depan. Sesekali, dia tampak menengadahkan kepala, mencoba melihat bulan purnama yang bersinar indah tepat di atasnya. Rupanya, sudah lima purnama dia lalui dalam penjara. Dulu ketika masih berpacaran dengan Hidayat, mereka selalu pergi ke pinggir pantai di setiap malam bulan purnama. Pantai favoritnya adalah Pantai Lampu’uk. Di pantai itu, yang letaknya tidak jauh dari pusat Kota Banda Aceh, kurang lebih 12 km arah barat kota, Raihana bebas memandang laut yang tampak berkilau tertimpa sinar bulan. Setelah berjalan lima belas menit, mereka berempat berhenti di bawah pohon yang besar. Rupanya di tempat itu sudah ramai. Ada sekitar enam orang, yang semuanya laki-laki, sudah menunggu di tempat ini. Tiga orang yang mengiringi Raihana memberi hormat pada seorang lelaki yang kelihatannya adalah komandan mereka. Kau yang bernama Raihana?” kata laki-laki itu, sambil berjalan mendekati Raihana.
“Ya,” jawab Raihana singkat sambil matanya menatap bulan purnama, yang entah bagaimana kini sudah ada di hadapannya. “Apa yang kau lakukan selama ini?” “Membuat bulan purnama itu agar tidak berwarna merah.” “Apakah kau anggota GAM?” “Sekarang bulan purnama itu berwana merah.” Komandan itu bingung mendengar kata-kata Raihana. Karena penasaran, dia kemudian memandang bulan purnama. Tingkah komandan itu serentak diikuti oleh seluruh anak buahnya. Namun karena tidak menemukan sesuatu yang aneh, komandan itu kembali menatap Raihana. “Apakah kau anggota organisasi kiri?!” Kali ini, suaranya sengaja dibuat menggelengar.
“Dilumuri oleh darah penghuninya sendiri,” kata Raihana setengah mendesis. Komandan itu mulai tampak gusar. Tidak satu pun pertanyaanya dijawab oleh Raihana. Dengan setengah membentak, dia kembali bertanya, “Apakah kau mau membuat Aceh menjadi negara komunis?!”
“Sekarang darah itu menetes,” kata Raihana masih dengan mendesis. Kini, komandan itu tidak peduli lagi dengan kata-kata yang diucapkan Raihana.
”Aku sudah tahu semua rencana kalian,” kata komandan itu. “Semuanya sudah kami ketahui. Diani sudah menyampaikan semuanya pada kami,” lanjutnya lagi. Mendengar nama Diani disebut, Raihana langsung memandang wajah komandan yang tampak sedang tersenyum penuh kemenangan. Hanya sekilas, Raihana kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke bulan purnama. “Diani itu orang kami,” kata komandan itu sambil membalikkan tubuhnya, berjalan meninggalkan Raihana. Tak lama kemudian, seorang laki-laki berjalan mendekati Raihana. “Sekarang waktumu telah tiba. Bersiap-siaplah,” katanya. Raihana tidak memperhatikan kata-kata itu, dia tetap memandang bulan purnama, sambil sesekali mendesah. “Sekarang darah itu menetes.” Setelah berkata seperti itu, Raihana memadang laki-laki yang ada di dekatnya dengan tajam. Meski tampak tegar, tapi kata-kata Raihana terdengar agak bergetar, “Sejak lahir, aku sudah siap.” Itulah kalimat terakhirnya. “Sekarang berbaliklah!” kata laki-laki itu lagi. Raihana tidak menjawab, dan juga tidak berbalik. Dia justru kembali memandang bulan purnama.
“Berbaliklah!” kata lelaki itu lagi, dengan suara keras sampai badannya berguncang.
Namun Raihana tidak berbalik, dia tetap memandang bulan purnama. Dan karena Raihana tidak mau berbalik, lelaki itu akhirnya berjalan memutar. Setelah berada tepat di belakang Raihana, diarahkannya pistol yang dipegangnya sejak tadi ke kepala perempuan yang ada di depannya.
“Dor!Dor!” Suara letusan terdengar membelah kesunyian malam. Tubuh Raihana roboh, membentur tanah. Bergerak-gerak sebentar, kemudian membatu. Tampak darah mengalir dari lubang di kepalanya. Darah seorang perempuan Aceh yang tertumpah demi rakyat yang diperjuangkannya, yang mati di atas tanahnya sendiri, Tanah Rencong Aceh. Kepala Raihana telah pecah di bawah purnama.
__________________
"Sedikit ide yang kau tuangkan dalam karya, akan lebih berarti daripada seribu kata yang terucap"

Read More...

Jari Jari Tangan Istri Ku

Oleh; Ihan Sunrise

“Tangan mu indah sekali Dik,” ucapku suatu malam, saat itu kami tengah makan malam berdua disebuah café. Kami sengaja mengambil tempat agak dipojokan agar lebih leluasa dan tidak menjadi perhatian orang-orang, sebaliknya kamilah yang menjadi leluasa untuk memperhatikan orang lain. Kebetulan malam itu agak sepi karena bertepatan dengan minggu malam, anak-anak muda tidak banyak berdatangan karena besoknya mereka harus sekolah dan mungkin malam ini harus menyiapkan tugas yang diberikan gurunya di sekolah.

“Aku selalu bernafsu setiap kali melihat tangan mu dengan kuku-kuku yang indah terawat.” Kata ku lagi melihat tidak ada respon apapun dari istriku. Sesungguhnya ini bukanlah kali pertama aku berkata begitu didepan istriku, sangat sering bahkan dan tak peduli dimanapun berada. “Sudah, sudah, makan saja dulu.” Jawabnya agak tersipu malu, aku tersenyum tipis melihatnya. Mata ku masih belum beralih dari jari-jari tangannya yang lentik, aku justru menatapnya dengan semakin liar. Melihatnya merobek-robek ayam bakar dengan kedua tangannya. Ibu jari dan telunjuknya mencengkeram dengan kuat sedang tiga jari lainnya melengkung mengikuti kedua jari tadi dengan sangat indahnya. Sebuah pemandangan yang amat sangat menyenangkan untuk dinikmati.


“Entah aku bisa mencintaimu atau tidak jika saja Tuhan tidak memberi mu tangan sebagus itu,” kali ini aku juga bicara jujur. Dan memang tidak ada gunanya berbohong kepada istri sendiri. Ku pikir istriku masih tidak perduli, tapi rupanya tidak. Air mukanya seketika berubah, ia meletakkan ayam bakarnya dan menatapku seolah-olah meminta penegasan dari apa yang barusan aku katakan. Ada kesedihan yang tiba-tiba menggantung diwajahnya, aku memaklumi perubahannya yang tiba-tiba itu. “tapi syukurlah jari-jari indah seperti itu tidak dimiliki oleh perempuan lain,” sambungku cepat berharap selera makannya tidak hilang. “Lalu kalau seandainya besok tangan ku terpotong dan jari-jari ku hilang?” tanyanya dengan mimik wajah serius. Ada kekhawatiran dan kecemasan. “Itu persoalan lain, lanjutkan saja makannya” Begitulah, tampaknya memang berlebihan kalau aku mengatakan asal muasal jatuh cinta kepada istriku karena terpesona pada jemarinya yang lentik dan indah. Saat itu, beberapa tahun lalu pertama kali aku melihatnya tengah mengetik sebuah artikel di rental computer. Lalu kuberanikan diri menanyai namanya dan meminta nomor teleponnya dan jadilah dia istriku sampai sekarang. Barangkali ia berfikir kalau aku jatuh cinta karena terpesona pada wajahnya yang hitam manis, atau pada tutur katanya yang lembut dan sopan, atau pada sikapnya yang kadang agak grasak-grusuk itu. Itu memang benar, tapi datangnya jauh setelah aku menikahinya, setelah aku punya banyak waktu untuk memperhatikannya. Bahwa selain punya tangan bagus dan cantik istriku juga memiliki wajah hitam manis yang enak dipandang, punya tutur kata yang lembut dan menenangkan. Tapi yang selalu membuatku mabuk adalah jari-jemarinya yang lentik dan indah terawat itu. Barangkali karena aku tidak pernah memuji parasnya itulah suatu hari istriku memberanikan dir bertanya pada ku. “Apa yang membuat abang jatuh cinta kepadaku sehingga mau menikahi ku?” tanyanya suatu pagi. Seketika saat itu aku melihat kejari-jarinya yang tengah mengaduk kopi, aku agak bingung juga mendapat pertanyaan seperti itu sepagi ini. Kalau aku jawab jujur bisa dipastikan dia akan salah paham nantinya. “Mau jawaban jujur atau jawaban bohong nih…” “Idih, abang ini gimana sih, ya jawaban jujur dong.” Saat itu aku mendapatkan bagian lain dari dirinya selain tangan indah dan wajah manis, yaitu senyum yang menawan. “Karena jari-kemari mu yang indah Dik” Ia tertegun mendengar jawaban ku, “Tidak ada yang lain?” tanyanya tanpa kedipAku menggeleng. “Benarkah?” ia tampak belum yakin. Aku mengangguk lagi, ia tersenum sambil menyerahkan kopi kepada ku, tapi senyumnya agak getir dan hambar. Barangkali karena dipaksakan. Dan obrolan tentang asal muasal cinta pagi itu berhenti sampai disitu saja. Aku pun tidak pernah menyinggung-nyinggung lagi soal itu. Hingga suatu hari aku melihat istri ku tengah menggosok-gosok kukunya dengan alat seperti gabus berbentuk persegi panjang pipih, aku hanya memperhatikannya saja dari jauh, benda apa itu pikir ku. Tapi karena penasaran akhirnya aku mendekat. “Kenapa kukunya?” “Biar tetap cantik, biar abang terus mencintaiku” jawabnya datar tanpa senyum Oohh…istriku, ia sepertinya sedang ingin berunjuk rasa kepada ku, menyampaikan sikap protesnya dengan cara seperti itu. Aku jadi geli mendengarnya. Tapi memang setelah ia melakukan ritual itu kukunya menjadi lebih cantik dan mengkilat, biasanya ia hanya membersihkan dengan jeruk nipis saja agar kukunya selalu bersih. “Bagaimana?” tanyanya sambil memperlihatkan kedua tangannya kepada ku. “Cantik,” jwabku seraya menarik tangannya untuk ku kecu “Cccuuuuppp…..” “Kenapa” aku bertanya saat melihat ia menjadi murung, bukankah seharusnya senang mendapat pujian dari suami tercinta dengan bonus kecupan ditangan? “Dedemikian buruk kah wajah ku sehingga abang tidak pernah menciumnya?” ucapnya pelan dan sendu. Masya Allah…jauh sekali yang dipikirkan oleh istri ku, aku tersentak dibuatnya. Tapi dengan cepat aku segera mengkalkulasikan antara mencium tangannya dengan mencium keningnya, yah, mencium tangannya jauh lebih banyak, tak terhitung. Tapi…aku sama sekali tidak menduga kalau istriku akan berfikir hingga keayat itu. “Bukan begitu sayang…” aku menjadi sulit menjelaskan kepadanya “Lalu apa?” suaranya bergetar tapi ia tidak menangis. Ini lah satu hal lagi yang kusukai dari istriku, tidak cengeng. Bahkan dalam beberapa hal ia tampak lebih maskulin dari diriku seperti hoby mengebutnya atau cara dia membenarkan listrik dirumah ini. Tapi semua itu tertutupi dengan kelembutan dan kelentikan jari jemarinya yang indah tadi. Tangannya tetap lembut walaupun sehari-hari ia berkutat dengan cucian dan bumbu rempah, tutur katanya senantiasa terjaga meskipun ia bisa saja memaki ku dan aku tidak akan marah. “Begini, dulu, asal muasal abang mencintai mu memang karena tangan mu itu. Itu karena sedikit sekali waktu yang ku punyai untuk bisa bersama mu, sehingga setiap kali kita bertemu yang menjadi perhatianku adalah tangan mu. Tapi setelah kita menikah, setelah abang punya banyak waktu bersama mu, abang banyak menemukan yang lain lagi dari dirimu Dik. Hingga akhirnya aku mencintai mu dengan stok cinta yang berlimpah-limpah.” Urai ku panjang lebar “Apa itu?” Ah, istriku, ia memang sangat pandai berpura-pura. Sebenarnya ia sudah tahu apa maksud dan tujuan perkataan ku tapi ia ingin aku mengatakannya dengan jelas. “adik punya wajah yang manis, walau tidak seperti bulan tapi selalu ada bintang bergantung disana. Dan tidak pernah hilang meskipun saat kau marah. Adik punya senyum yang manis, memang tidak semanis senyumnya Desi Ratnasari, tapi cukup ampuh untuk menjadi penenang bagi suami mu yang sering dilanda gelisah ini,” aku memperhatikan wajah istri ku lagi, mulai bersinar kembali. “Kamu punya suara yang merdu sekalipun tengah berteriak menyoraki tim sepak bola jagoan mu.” “Heheheh…abang udah deh, jangan merayu terus, nanti aku bisa berteriak lebih keras lagi.” Tawanya begitu lepas “Berteriaklah ditelinga abang”
“Aw…aw…” teriaknya riang, aku tertawa Istriku, kadang aku merasa Tuhan telah tidak adil kepadanya, karena untuk perempuan sesempurna dia hanya diberikan seorang suami yang cacat. Laki-laki yang hanya mempunyai sebelah kaki dan terus bergantung pada kaki palsu
10:36 pm
19/02/07


Read More...

Kerancuan perspektif sejarah Islam dari kaum Islam Liberal (Studi Kasus Buku Kebenaran yang Hilang, Karya Farag Fouda)

Pendahuluan

Pergulatan antara kebenaran (haq) dan kebatilan merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan secara azali sebagai ujian (`ibtila’) bagi manusia, guna menyeleksi anasir yang baik dari yang buruk, sehingga di akhirat kelak, Allah swt. akan menempatkannya pada posisi balasan (jaza’) yang layak dengan hasil ujian masing-masing. “Dan hanyalah milik Allah, segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, supaya Dia memberi balasan (neraka) kepada orang-orang yang berbuat jahat atas apa yang telah mereka kerjakan. Dan membalas orang-orang yang berbuat baik dengan balasan yang lebih baik (surga)”. (al-Najm: 31).

Al-Qur’an dan al-Sunnah Berbicara tentang Para Sahabat

Sejak lebih seribu tahun, umat Islam memandang para sahabat Nabi saw. sebagai generasi terbaik yang dilahirkan peradaban Islam. Dasarnya jelas, Al-Qur’an berkali-kali memuji mereka, baik dalam kapasitas individu maupun genarasi yang utuh. Merekalah yang paling pantas menyandang predikat umat terbaik (khayr ummah) yang dikeluarkan Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada seluruh manusia. “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. (Ali `Imran: 110). Predikat yang sama diberikan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Manusia terbaik adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari seluruh sahabat Nabi saw., para sahabat yang lebih dulu memeluk Islam dan berjuang menegakkannya bersama Rasulullah saw. memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Merekalah al-sabiqun al-awwalun yang telah dipastikan meraih keridhaan Allah swt., seperti dinyatakan dalam firman-Nya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama [masuk Islam] dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (al-Taubah: 100).

Kedudukan sangat istimewa juga diberikan Rasulullah saw. Bagi beliau, tingkat kesalehan dan kualitas amal para sahabat tersebut tidak dapat disetarakan dengan siapa pun juga, meskipun yang dikerjakan generasi berikutnya tampak lebih besar. Karenanya, Rasulullah saw. melarang mencibir dan mencaci karya para sahabat utamanya itu,

لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ

“Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seorang di antara kalian bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud, maka tidak akan setara dengan satu mudd atau setengahnya dari sedekah mereka”. (HR. Bukhari dan Muslim)



Demikianlah kedudukan para sahabat Nabi saw. yang telah digariskan Al-Qur’an dan al-Sunnah. Karya-karya besar mereka mendapat penghargaan abadi dari dua sumber yang sedikit pun tidak diragui kebenarannya. Perjalanan hidup mereka, dengan segala keragaman kondisi dan dinamikanya sebagai manusia yang terbatas, adalah teladan yang paling ideal bagi seluruh manusia dan sepanjang masa. Karena itulah, Allah swt. menggariskan takdir mereka harus mengalami berbagai kondisi yang lazim dialami oleh seluruh manusia baik dalam skala individu maupun masyarakat. Fenomena kaya dan miskin, krisis ekonomi dan kemajuannya, suhu politik yang normal dan kekacauan pun mereka alami semuanya. Namun yang pasti, dalam semua kondisi tersebut mereka menunjukkan kapasitas individu dan masyarakat ideal yang berusaha sekuat tenaga menggabungkan antara idealisme wahyu dan realitas.

Keutuhan keteladanan ini dipahami betul oleh sosok Abdullah ibn Umar ra., seorang sahabat utama yang banyak mengalami peristiwa besar hingga periode Bani Umayyah (wafat 73H). Kepada murid-muridnya dari generasi Tabi`in, Ibn Umar ra. berpesan, “Siapa yang mencari teladan, hendaklah meneladani orang-orang yang telah meninggal, yaitu sahabat-sahabat Muhammad saw. Merekalah genarasi terbaik umat ini, hati mereka lebih bersih, ilmu mereka lebih dalam, dan mereka sangat jauh dari sikap berlebihan. Merekalah generasi yang dipilih Allah untuk menyertai Nabi-Nya saw. dan menyampaikan agama-Nya. Maka teladanilah akhlaq dan jejak hidupnya, karena mereka adalah sahabat-sahabat Muhammad saw. dan telah mendapat petunjuk yang lurus”.[1]

Demikianlah pemahaman umat Islam tentang masalah ini. Namun seiring dengan memudarnya tradisi keilmuan Islam, pemahaman ini perlu penyegaran kembali. Kredibilitas para sahabat sebagai fundamen aktif peradaban Islam, tidak hanya dipertanyakan, melainkan sedang diruntuhkan dengan cara yang sistematis. Seandainya langkah-langkah destruktif ini dilakukan oleh non muslim (baca: orientalis), barangkali akan lebih mudah disikapi. Tapi ketika pelakunya adalah orang Islam sendiri maka tak pelak akan menimbulkan dampak yang luar biasa besar. Setidaknya, umat menjadi bingung dan mulai meragukan kebenaran sejarahnya sendiri. Akhirnya, umat akan mengidap amnesia sejarah dan kehilangan jati diri, karena tidak lagi dapat bercermin dan mengambil pelajaran dari model generasi paling ideal sepanjang zaman. Farag Fouda dan Distorsi Sejarah

Itulah yang dilakukan Farag Fouda dalam bukunya, Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin. (edisi kedua, Agustus: 2008). Selanjutnya buku ini disingkat KYH. Buku yang diterbitkan Yayasan Wakaf Paramadina bersama Penerbit Dian Rakyat ini, tidak hanya berusaha menjatuhkan kredibilitas individu para sahabat dengan mengangkat fakta-fakta lemah yang menurutnya selama ini ditutup-tutupi, melainkan juga menghapus karya kolektif generasi sahabat dalam bidang politik dan sosial dari lembaran sejarah. Buku Fouda ini kerap menggunakan fakta yang lemah, mengabaikan fakta yang lebih kuat, melakukan kecurangan, tidak mencantumkan rujukan, dan bahkan metodologi kajiannya rancu. Tapi sungguh ironi, buku ini mendapat apresiasi sekaligus promosi yang sangat hebat dari Prof. DR. Azyumardi Azra dan Prof. DR. Syafi`i Maarif, keduanya adalah Guru Besar Sejarah, dan sejumlah kalangan di Indonesia.

Dengan demikian, distorsi serajah Islam di Indonesia telah memulai babak baru. Kajian sejarah Farag Fouda, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan al-Fitnat al-Kubra karya Thaha Husain. Tapi buku semacam itu kini tidak lagi dipandang terpinggirkan, melainkan sedang dibawa kedalam arus, atau membuat arus baru pandangan kesejarahan di Indonesia, karena dipromosikan oleh kalangan intelektual dan akademik sekaliber Guru Besar Sejarah!!

SEKILAS TENTANG PENULISAN SEJARAH ISLAM KLASIK

Sejarawan Ahli Hadits dan Sejarawan Akhbari

Penulisan sejarah Islam tidak lepas dari perkembangan penulisan hadits Nabi saw. Para pelopor penulisan sejarah Islam adalah ulama-ulama hadits terkemuka yang berjasa besar dalam upaya pembukuan hadits. Dengan demikian, penulisan sejarah Islam telah dilakukan sejak dini, terlebih lagi periode sirah Rasulullah saw. yang menjadi fokus perhatian mereka. Para penulis sejarah terkemuka periode ini antara lain Aban ibn `Utsman, Urwah ibn al-Zubair, Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri, Muhammad ibn Ishaq dan Musa ibn `Uqbah.

Dalam penilaian para kritikus hadits, sejarawan-sejarawan diatas mendapat predikat kredibilitas sangat tinggi yaitu tsiqah atau setidaknya shaduq,[2] sehingga bobot riwayat mereka pun umumnya teruji valid dan kuat. Kondisi ini berbeda dengan para sejarawan generasi berikutnya yang disebut Akhbari atau Ikhbari karena lebih banyak mengungkap fakta-fakta sejarah, mulai periode Khulafa’ Rasyidun, termasuk masa-masa fitnah yang berkembang sejak kematian `Utsman ibn `Affan hingga Bani Umayyah.

Hampir seluruh sejarawan Akhbari tidak luput dari penilaian para kritikus hadits. Hasilnya, mereka tidak hanya dinyatakan lemah dalam periwayatan hadits, tapi juga cenderung tendensius karena menganut ideologi-ideologi yang berkembang setelah masa fitnah. Hal ini tidak mengherankan, karena seluruh sejarawan tersebut lahir setelah masa fitnah dan periode awal Bani Umayyah yang menandai kemunculan aliran-aliran ideologis dalam Islam, baik bermotif agama maupun politik, atau keduanya.

Muhammad ibn Sa’ib al-Kalbi (w.146H), Abu Mikhnaf Luth ibn Yahya (w.157H), dan Nashr ibn Muzahim al-Tamimi (w.212H) misalnya, mereka adalah sejarawan yang tendensius dan pengantut syi`ah fanatik. Afiliasi ideologis ini sangat berpengaruh terhadap bobot riwayat mereka. Tentang Ibn Sa’ib al-Kalbi, Ibn Hajar menyatakan dia adalah penganut syi`ah fanatik dan mendustakan riwayat.[3] Abu Mikhnaf dinilai lebih parah lagi, bukan sekadar periwayatan haditsnya yang sangat lemah, melainkan juga riwayat sejarahnya.[4]

Dalam karya DR. Yahya al-Yahya yang berjudul Marwiyyat Abi Mikhnaf fi Tarikh al-Thabari[5] disimpulkan, bahwa Abu Mikhnaf adalah seorang penganut Syi`ah sangat fanatik, riwayatnya matruk (diabaikan), suka berdusta (kadzdzab), suka mencaci sahabat Nabi saw. dan banyak memalsukan riwayat atas nama perawi-perawi tsiqah (terpercaya).[6]

Sedangkan Ibn Muzahim adalah seorang penganut Syi`ah ekstrim fanatik. Al-Dzahabi menyebutnya “seorang penganut rafidhah ekstrim (rafidhi jalad). Menurut al-`Uqaili, Ibn Muzahim adalah penganut Syi`ah, riwayatnya tidak konsisten dan banyak kesalahan. Sedangkan menurut Abu Khaitsamah, dia banyak berbohong”.[7]

Cara Berinteraksi dengan Riwayat Akhbari

Dengan segala kelemahannya, karya-karya sejarawan Akhbari tetap memiliki kelebihan yang patut diperhitungkan, yaitu berupa kekayaan data dan informasi yang dapat menggambarkan suatu peristiwa dengan utuh dan detil. Faktor inilah yang membedakannya dari karya sejarawan ahli hadits yang meskipun valid dan kuat, cenderung tidak utuh, sebagai konsekuensi logis dari kritik riwayat yang mereka terapkan. Karena itu, sejarawan-sejarawan besar periode berikutnya, seperti Ibn Sa`ad, al-Baladzuri, dan Ibn Jarir al-Thabari, mengandalkan riwayat-riwayat sejarawan Akhabari dalam karya-karya sejarah mereka.

Dengan mencantumkan riwayat-riwayat Akhbari, bukan berarti serta merta mengakui kekuatan dan kebenarannya. Para sejarawan membedakan betul dua masalah tersebut. Oleh sebab itu, mereka membingkai periwayatan dari sejarawan Akhbari dengan perangkat sangat penting yang memungkinkan riwayat tersebut untuk dikritisi dengan mudah, pada masa tersebut tentunya, yaitu isnad (mata rantai narator atau sumber yang menyampaikan riwayat). Ini berarti para sejarawan tersebut mengakui, riwayat-riwayat sejarawan Akhbari yang mereka kutip banyak yang tidak kuat, bahkan tidak benar, dan tidak layak dijadikan argumentasi untuk menyimpulkan sebuah fakta.

Pengakuan al-Thabari tidak Semua Riwayatnya Kuat

Masalah ini dapat dibilang sangat krusial, karena orang yang tidak paham dengan metode penulisan para sejarawan klasik ini, akan mengira setiap riwayat sejarah yang tercantum dalam karya mereka adalah fakta sejarah yang kuat. Padahal Al-Thabari misalnya, menjelaskan masalah ini dengan sangat baik dalam pendahuluan karyanya, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk,

“Apabila ada berita tentang peristiwa yang dialami oleh sebagian generasi masa lalu yang disebut dalam karyaku ini yang tidak dapat diterima oleh pembacanya, atau dianggap berlebihan oleh pendengarnya, disebabkan tidak ada bukti yang mendukung autentisitasnya, ataupun tidak sesuai fakta. Maka katahuilah, berita itu bukan berasal dari kami, melainkan dari orang yang menyampaikannya kepada kami. Kami hanya mencantumkan sesuai yang disampaikannya kepada kami”.[8]

Berdasarkan kenyataan ini, sejarawan kontemporer yang hendak menulis tentang sejarah Islam mesti memahami seluk beluk penulisan sejarah Islam klasik. Dia tidak boleh mengutip riwayat sejarah secara sembarangan dan menganggapnya sebagai fakta, apalagi untuk mendukung kesimpulan-kesimpulan yang dibuatnya. Karena cara ini tidak hanya reduktif dan distortif, melainkan juga akan mengabaikan sekian banyak fakta yang jauh lebih kuat dan mengaburkan kerangka sejarah yang dibangun berdasarkan semangat dan nilai generasi yang menjadi pelakunya.


TANGGAPAN KRITIS ATAS BUKU FOUDA




Siapa Farag Fouda?
Farag Fouda lahir pada tahun 1945 di Mesir. Doktor ekonomi pertanian ini dikenal luas sebagai juru bicara kaum sekular yang paling lantang dan berani. Pendiriannya yang kokoh tentang keharusan memisahkan agama dari negara, dan penolakan kerasnya terhadap penerapan syari`at, seringkali menyeret Fouda kedalam debat publik dan polemik terbuka di media massa dengan sejumlah aktivis Islam di Mesir.

Popularitas Fouda semakin meroket setelah kematiannya yang begitu tragis. Fouda dibunuh di depan kantornya di Madinat al-Nashr Kairo, pada tahun 1992. Peristiwa ini menimbulkan gejolak yang begitu hebat pada diri para pengagumnya, sehingga dalam berbagai tulisan yang menangisi kematiannya, Fouda ditempatkan selayaknya seorang pahlawan yang gugur sebagai syahid.[9] Buku-buku Fouda, terutama al-Haqiqah al-Gha’ibah (edisi Indonesia: Kebenaran yang Hilang) semakin ramai diperbincangkan dan dipromosikan dengan gencar. Bagi para pengagum Fouda, buku ini dianggap telah memberi pencerahan tentang fakta-fakta sejarah Islam yang selama ini ditutup-tutupi demi kepentingan pihak-pihak yang sering mereka sebut Islamiyyun (aktivis Islam). Karenanya tidak mengherankan jika sanjungan setinggi langit mereka lontarkan terhadap buku tersebut hingga pada tahap –yang kadang-kadang—membuat miris sekaligus menggelikan.

DR. Ra’fat Osman, anggota Ikatan Advokat Arab (al-Muhamun al-`Arab) mempromosikan buku al-Haqiqah al-Gha’ibah dalam websitenya seperti berikut,
“Saya harap Anda senang membaca buku ini, karena dia adalah buku kritis terbaik yang pernah saya baca. Selain itu, bahasanya juga mengalir dan mudah dipahami, sehingga karena begitu hanyut, saya sempat berbisik dalam hati, ‘Seandainya aku pada posisi mereka (para pemberontak, pen), maka aku pun pasti membunuhnya (Usman ra. pen)’. Gaya bahasa Fouda sangat meyakinkan. Selain dia juga mengutip sanad-sanad (sumber) riwayat sejarah dengan sangat cermat, sampai-sampai mencantumkan halaman buku-buku sejarah yang menjadi rujukannya, seperti (Tarikh) al-Thabari, al-Thabaqat al-Kubra karya Ibn Sa`ad dan lain sebagainya”.[10]

Pujian seperti ini tentu saja berlebihan atau lebih tepatnya, keterlaluan. Siapa pun yang membaca karya Fouda ini dengan cermat, akan segera menemukan kelemahan-kelemahan mendasar di dalamnya. Menurut Jamal Sulthan, Pengarah Majalah al-Manar al-Jadid, Fouda adalah seorang penulis buruk, nekat dan sangat provokatif. Popularitas Fouda di mata Jamal, tidak lebih dari fenomena media (zhahirah i`lamiyyah) dan bukan didapat dari integritas keilmuannya. Karenanya, Jamal menyayangkan kesediaan sejumlah ulama besar Mesir untuk disandingkan dan meladeni perdebatan dengan Fouda, karena hasilnya hanya “membesarkan” nama Fouda. Terlebih dalam acara Pameran Buku Internasional Kairo tahun 1991 yang melibatkan Syaikh Muhammad al-Ghazali dan dihadiri oleh Mursyid al-Ikhwan al-Muslimun, Ma’mun al-Hudhaibi. Menurut Jamal, dalam adu wacana, Fouda sama sekali bukan tandingan Syaikh al-Ghazali. Tapi dari sudut yang berbeda, Fouda pun melenggang dengan mengibarkan panji kemenangan hanya karena telah berdebat dengan ulama sekaliber al-Ghazali. Buktinya jelas, hingga saat ini, setiap orang yang menyebut nama Farag Fouda maka akan selalu menyandingkannya dengan nama besar Syaikh al-Ghazali![11]

Klaim Kepakaran Fouda; Sebuah Blunder Intelektual
Farag Fouda menyatakan dirinya bukan seorang spesialis bidang sejarah, namun dalam pengakuan berikutnya, Fouda menempatkan kajiannya sejajar dengan karya seorang pakar yang layak diperhitungkan. Fouda mengaku “telah membaca sejarah secara tekun, menganalisisnya dengan cermat, mengeceknya dengan teliti, [dan mengkritisinya secara rasional][12]” (KYH, hal. 1).

Fouda juga mengaku, buah pikirannya tentang sejarah yang tertuang dalam karyanya itu, selalu dibingkainya dengan akal sehat, tanpa menggiring imajinasi atau khayalan subyektif yang dapat mendorong terjadinya penambahan atau pengurangan yang melampaui kebenaran sejarah (KYH, hal. 2)

Fouda menegaskan, Kebenaran yang Hilang ditulis “bukan untuk kepentingan propaganda, mengolok-olok ataupun mengejek, tetapi untuk kepentingan kecermatan dan ketelitian dalam mengungkap kebenaran sejarah” (KYH, hal. 2).

Kelemahan Metodologi
Itulah klaim Fouda. Tapi, jika ditelaah pada sumber-sumber yang dirujuknya, kenyataannya jauh panggang dari api. Kajian Fouda bukan hanya sering tidak obyektif, tidak komprehensif, dan tidak jujur. Tapi juga lemah dari segi metodologi. Untuk menentukan kekuatan suatu fakta, Fouda merasa cukup dengan hanya mengutip riwayat minor dari salah satu sumber rujukan, tanpa harus meneliti atau membandingkan dengan riwayat-riwayat lain yang dimuat dalam sumber yang sama, apatahlagi sumber lain.

Fouda menganggap metode tersebut benar dan cukup untuk mendukung sebuah fakta sejarah. Padahal jelas sekali, karya-karya sejarawan klasik seperti Tarikh al-Thabari tidak dapat diperlakukan dengan menggunakan metode seperti itu. Ironinya, dengan metodenya itu, Fouda menganggap dirinya telah berhasil menghadirkan versi kebenaran lain dari sejarah Islam yang tidak lazim dipahami kebanyakan umat Islam. Fouda sangat yakin dengan kebenaran metodenya itu, sehingga tidak mau digugat lawan-lawannya, “Tidak seorang pun berhak mengingkari referensi-referensi yang kita (baca: kami) rujuk. Semuanya adalah referensi yang juga digunakan oleh orang-orang yang merasa itu dipihak mereka” (KYH, hal. 4).

Di sinilah letak kelemahan kajian Fouda yang paling mendasar. Fouda mengutip sumber-sumber sejarah klasik secara sembarangan, sesuai dengan kemauannya. Riwayat-riwayat yang tidak jelas sumbernya, dia kutip sebagai rujukan cerita, dengan menafikan riwayat lain yang jelas dan kuat sumbernya. Cara-cara seperti ini memang biasa digunakan oleh kaum orientalis dalam menulis sejarah Islam. Sayangnya, kaum sekular-liberal, seperti Fouda, juga mengikuti jejak kaum orientalis dalam memberikan citra buruk tentang sejarah Islam.

Padahal, siapa pun yang meneliti buku-buku sejarah Islam klasik, akan menemukan banyak riwayat sejarah yang memang tidak jelas atau lemah sumbernya. Penulis buku sejarah klasik – seperti al-Thabari, Ibn Sa`ad, dan lain-lain – sengaja mencantumkan berbagai riwayat dan sekaligus menjelaskan sumber masing-masing riwayat (sanad) tersebut. Dengan itu, pembaca diharapkan dapat menilai mana riwayat yang kuat dan mana yang lemah. Riwayat-riwayat itu tidak jarang saling bertentangan dan mustahil dikompromikan. Sejarawan yang baik dan ikhlas akan dengan mudah memilihnya. Jadi, tidak semua cerita yang dimuat buku-buku tersebut dapat diterima “sebagai sejarah Islam, melainkan sebagai materi sejarah yang sangat kaya, yang harus dikaji (diseleksi) guna membangun konstruksi sejarah Islam”.[13]

Kelemahan metodologis lainnya yang juga sangat fatal adalah, Fouda sering tidak mencantumkan rujukan dari riwayat-riwayat yang dikutipnya. Buku KYH sendiri terdiri dari 191 halaman dan hanya mencantumkan 68 catatan kaki. Jumlah catatan kaki tersebut tentu terlalu kecil untuk sebuah buku yang banyak memuat data-data sejarah. Pada Bab Satu misalnya, Fouda hanya mencantumkan tiga catatan kaki saja. Padahal, belasan riwayat sejarah yang dikutipnya pada bab tersebut terkait masalah-masalah besar dan penting, seperti peristiwa Saqifah, bai`at Ali ra. kepada Abu Bakar ra., perang Jamal yang dianggap Fouda sebagai pembelotan kubu `Aisyah ra., keyakinan Fouda atas keterlibatan para sahabat utama dalam konspirasi pembunuhan Usman ra dan lain sebagainya.

Kondisi yang lebih parah terjadi pada Bab Dua; Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun. Fouda bukan hanya tidak banyak mencantumkan sumber riwayat yang dikutipnya, tapi juga membumbuinya dengan penafsiran-penafsiran yang semakin memperburuk gambaran hubungan antara para sahabat Nabi saw. Silakan simak cara pengutipan dan penafsiran Fouda berikut ini,

”Kepada Ali, Abdur Rahman bin Auf, misalnya menyerukan: ’Kalau engkau berkenan, silakan angkat senjata. Akupun akan angkat senjata. Ia (Usman) telah mengambil kembali apa yang telah ia berikan kepadaku’. Lantas Auf berkata kepada para sahabatnya, dalam keadaan sakit yang pada akhirnya menyebabkan kematiannya: ’Bersegeralah kalian (untuk memberontak terhadap kekuasaan Usman) sebelum kekuasaannya itu yang akan melindas kaian!’. Thalhah juga memprovokasi para pemberontak, sampai-sampai Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali membuka akses Baitul Mal, lalu membagi-bagikannya kepada mereka sampai terjadi pertengkaran karena itu. Tetapi, saat itu Usman justru membenarkan tindakan Ali. Dan benar saja, tidak perlu menunggu sampai berbulan-bulan lamanya, Usman pun terbunuh. Anehnya, Thalhah kemudian justru tampil sebagai orang yang menuntut balas atas kematian Usman dalam kelompok tentara Aisyah…” (KYH, hal. 46).

Kisah di atas jelas-jelas menyebut keterlibatan langsung Abdurrahman ibn `Auf dan Thalhah ibn `Ubaidillah, dua sahabat utama yang tergolong anggota Dewan Syura Khalifah, dalam konspirasi yang mengakibatkan terbunuhnya Usman ra. Kisah Thalhah ra. sama sekali tidak disebutkan sumbernya. Sedangkan kisah Abdurrahman ibn `Auf dikutip Fouda dari buku al-Fitnah al-Kubra, karya sastrawan sekuler kenamaan, Thaha Husain.[14]

Rujukan masalah segenting itu semestinya tidak dapat diandalkan dari tulisan Thaha Husain yang selain seorang sastrawan, dia baru meninggal beberapa puluh tahun lalu. Malangnya, dalam buku al-Fitnah al-Kubra, Thaha Husain juga tidak mencantumkan sumber asli kisah Abdurrahman ra. tersebut, melainkan hanya mengatakan, ”Ruwiya” yang berarti ”Disebutkan/Diriwayatkan”.[15] Cara pengutipan riwayat seperti ini banyak ditemukan dalam buku KYH. Sebagai kajian sejarah, apalagi tentang isu-isu besar yang menyangkut generasi sahabat Nabi saw., seharusnya bukan sekadar mencantumkan sumber yang jelas, melainkan harus melakukan verifikasi yang lebih teliti, tapi Fouda tidak melakukannya.

Kajian Fouda tidak Obyektif, Autentik, Apalagi Komprehensif!


Bukti kelemahan metodologi kajian Fouda cukup banyak dan mudah ditemukan dalam bukunya. Sejumlah permasalahan yang akan diangkat berikut ini juga turut membuktikannya. Tampaknya, masalah pembunuhan Usman ra. menjadi dasar argumentasi Fouda untuk mendukung doktrin sekuler-liberalnya yang memasung agama dalam ruang pribadi dan mengharamkannya masuk ruang publik, apalagi politik. Bagi Fouda, pembunuhan Usman ra. adalah fakta, bahwa keberadaan pemimpin yang saleh, rakyat yang juga saleh dan syari`at Islam diterapkan tidak serta merta menjamin melahirkan kebaikan (KYH, hal.28). Karenanya, Fouda membuat kesimpulan yang sangat berani, bahwa sejak awal Islam tidak mempunyai sistem ketatanegaraan (nizham al-hukm) dan ”Islam hanya memerintah tidak lebih dari seperempat abad atau malah kurang”. (KYH, hal. 79).

Dengan kesimpulan ini, Fouda ingin mengatakan bahwa dinasti-dinasti yang memerintah sepanjang sejarah Islam sama sekali tidak menjadikan Islam sebagai landasan politik dan pemerintahan mereka. Pemerintahan Islam hanya diimplementasikan dalam rentang masa al-Khulafa’ al-Rasyidun yang sangat pendek, yaitu kurang dari 25 tahun saja. Itupun tidak ideal. Faktanya, Usman dibunuh oleh rakyatnya sendiri dan Ali harus menjalankan pemerintahan dengan penuh gejolak akibat pembunhan tragis tersebut.

Memang, Fouda adalah pemuja fakta sejarah dan logika, ”Argumen saya dalam hal ini sepenuhnya logika. Alasan saya adalah fakta-fakta sejarah. [Tidak ada argumen yang sehebat logika dan tidak ada alasan yang sekuat fakta-fakta sejarah. Fakta-fakta sejarah yang akan saya kemukakan dikutip dari] periode Islam paling cemerlang, sekalipun dalam soal penerapan akidah dan iman, yaitu periode al-Khulafa’ al-Rasyidun” (KYH, hal. 22).

Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah, benarkah yang dipaparkan Fouda adalah fakta sejarah? Bagaimana keaslian dan kekuatannya? Dari sedikit yang telah dijelaskan di atas saja, terbukti metode Fouda rancu dan sangat lemah dalam mengungkapkan fakta. Penjelasan berikut ini akan semakin menguatkan bukti kesalahan dan kelemahan –yang diklaim Fouda sebagai– fakta-fakta sejarah.



Para Sahbat Nabi saw. Terlibat Konspirasi Pembunuhan Usman ra?

Kisah pembunuhan Usman ra. dicitrakan sangat buruk sekali oleh Fouda. Usman ra. digambarkan sebagai sosok sangat zalim sehingga menyulut kemarahan seluruh rakyatnya, termasuk tokoh-tokoh utama sahabat Nabi saw. Alhasil, menurut Fouda, sahabat-sahabat yang saleh tersebut terlibat langsung atau mendukung pembunuhan terhadap Usman ra.,

”Namun Usman membawa umat Islam ke dalam polemik tentang sosok dirinya. Para pemimpin di dalam Ahl al-Hall wa al-’Aqdi membuat konsensus untuk melarikan diri dari kepemimpinannya, baik lewat cara pemecatan menurut kalangan ahli pikirnya, maupun kekerasan menurut kalangan garis kerasnya. Wibawanya terguncang di mata rakyat, sampai sebagian masyarakatnya menghunus pedang yang siap mencincangnya dan menohoknya ketika berada di atas mimbar. Bahkan sebagian menghinanya dengan sebutan Na’tsal, sebutan untuk orang Kristen Madinah bernama Na’tsal yang kebetulan berjenggot lebat seperti Usman. Para pemuka sahabat pun menentangnya, ini adalah sesuatu yang sangat terang benderang menunjukkan bahwa ia keluar dari ketentuan al-Quran dan Sunnah. Karena itu, muncul seruan secara terang-terangan untuk membunuhnya. Hadits Aisyah meriwayatkan: “Bunuhlah Na`tsal, dan terlaknatlah Na`tsal.” (KYH, hal. 25).

Riwayat `Aisyah ini adalah versi terjemah bahasa Indonesia. Dalam edisi bahasa aslinya, ditulis oleh Fouda, “Haytsu yurwa ‘an `Aisyah qauluha uqtulu Na’tsalan wa la’anallaahu Na’tsalan.” Jadi, menurut Fouda, Aisyah sendiri yang mengutuk Utsman dan memerintahkan pembunuhan terhadap Usman. Dengan cara seperti itu, Fouda sedang menggiring pembaca pada sebuah kesimpulan bahwa pembunuhan Usman sudah selayaknya terjadi. Menurut Fouda, peristiwa tersebut melibatkan atau setidaknya mendapat dukungan dari para pemuka Sahabat, seperti Ali, Zubair, Thalhah, Sa`id bin Zaid, Ibn Umar, Ibn Abbas dan lain-lain, yang tergabung dalam Ahl al-Hall wa al-`Aqd. Padahal, faktanya, sama sekali tidak seperti itu. Para sahabat itu sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan Usman.

Sayangnya, baik di sini maupun di tempat lain, Fouda tidak menyebut data yang lebih spesifik dan rujukan yang dapat diukur kebenarannya. Sedangkan seruan membunuh Usman yang diriwayatkan `Aisyah, dikutip Fouda dari dua penulis kontemporer, Abbas al-`Aqqad dan Ahmad Amin, sehingga sulit ditelusuri siapa yang menyuarakan seruan itu sebenarnya. Padahal, `Aisyah ra. sendiri, seperti diriwayatkan Bukhari dalam al-Tarikh al-Kabir dengan sanad yang baik, mengutuk pembunuh Usman, “Usman dibunuh secara zalim. Terkutuklah pembunuhnya”.[16] Sejarah kemudian juga mencatat, bahwa Aisyah ra. justru sangat gigih dalam menuntut diadilinya para pembunuh Usman.

Dengan metode penyajian data yang sangat lemah, Fouda begitu cepat mengambil kesimpulan yang meyakinkan, bahwa para sahabat Nabi saw. terlibat pembunuhan terhadap Usman ra. Padahal jika mau sedikit bersusah payah, Fouda tidak akan sulit mendapatkan sejumlah kajian kontemporer yang telah lebih dulu membahas masalah ini dengan sangat cermat dan komprehensif.

Sebagai contoh adalah karya DR. Muhammad Amahzun yang berjudul Tahqiq Mawaqif al-Shahabah fi al-Fitnah min Riwayat al-Imam al-Thabari wa al-Muhadditsin[17] (Penilitian terhadap Sikap para Sahabat tentang Fitnah menurut Riwayat-riwayat Imam al-Thabari dan Ahli Hadits). Dalam buku yang berasal dari disertasi doktor di Universitas Muhammad I Maroko ini, Amahzun melakukan penelitian terhadap sikap para sahabat Nabi saw. semasa pengepungan Usman ra. dan setelah pembunuhannya dalam 28 halaman.

Menurut Amahzun, riwayat-riwayat yang menyebut keterlibatan sahabat dalam pembunuhan Usman ra. berasal dari sumber-sumber yang lemah atau sangat lemah. Abu Mikhnaf, al-Waqidi dan Ibn A`tsam, serta beberapa sejarawan Akhbari lainnya, adalah sumber utama riwayat-riwayat tersebut. Abu Mikhnaf, sebagaimana dijelaskan di atas, adalah seorang sejarawan tendensius dan penganut Syi`ah yang sangat fanatik, sehingga mudah dipahami mengapa dia begitu gencar melontarkan hujatan dan tudingan tidak berdasar kepada sosok Usman ibn Affan ra.[18]

Ada juga beberapa riwayat yang bila dilihat sekilas tampak kuat karena beberapa perawinya sangat terpercaya di kalangan ahli hadits, seperti al-Zuhri dan Sa`id ibn al-Musayyib. Dari riwayat mereka tersebut dapat disimpulkan bahwa al-Zubair ibn al-`Awwam, Abu Dzar al-Ghifari, Ibn Mas`ud, `Ammar ibn Yasir dan sejumlah sahabat lainnya terlibat dalam konspirasi pembunuhan Usman ra. dan para pemberontak yang mengepung Usman ra. adalah pihak yang benar, sedangkan Usman ra. adalah pendosa yang harus melakukan taubat secara terbuka.

Jika diteliti lebih jauh, sebenarnya riwayat-riwayat tersebut bermasalah. Salah seorang perawi pada sanad yang sampai kepada al-Zuhri, yaitu Umar ibn Hammad adalah seorang penganut Rafidhah (Syi`ah ekstrim). Dia juga suka melontarkan tuduhan kepada Usman ra. dan menyampaikan riwayat-riwayat munkar.[19] Sedangkan pada sanad riwayat Ibn al-Musayyib terdapat perawi yang sengaja disembunyikan (tadlis), yaitu Isma`il ibn Yahya ibn `Ubaidillah. Perawi ini diduga kuat memalsukan hadits dan berbohong. Karenanya, ulama-ulama hadits seperti Bukhari, Ibn Hibban dan Hakim menilai riwayat Isma`il ibn Yahya ini lemah.[20]

Terlepas dari lemahnya riwayat-riwayat yang menyebut keterlibatan para sahabat dalam pembunuhan Usman ra., justru banyak sekali riwayat-riwayat yang kuat dan lebih teruji yang menyatakan sebaliknya. Riwayat-riwayat ini tidak hanya berasal dari sumber-sumber Akhbari, melainkan juga ahli hadits seperti Imam Ahmad, Bukhari, Ibn `Asakir, Ibn Abi Syaibah, al-Darquthni, Ibn Hajar, al-Haitsami dan lain-lain. Bahkan, Ibn `Asakir melakukan penilitian khusus dengan menghimpun seluruh sumber riwayat yang menyatakan bebasnya Ali ra. dari keterlibatan dalam pembunuhan terhadap Usman ra. Hasilnya, Ali ra. bersumpah berkali-kali dalam berbagai pidato yang disampaikannya, bahwa dirinya tidak membunuh Usman ra. ataupun menyetujuinya.[21]

Tidak hanya Ali ra., riwayat-riwayat tersebut juga menjelaskan sikap sahabat-sahabat lain yang membuktikan mereka sama sekali tidak terlibat, bahkan justru sebaliknya, turut membela dan menawarkan bantuan kepada Usman ra. Di antara para sahbat tersebut adalah Thalhah ibn `Ubaidillah, `Aisyah, al-Zubair ibn al-`Awwam, Sa`ad ibn Abi Waqqash, Sa`id ibn Zaid, Hudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Ummu Sulaim, Abu Hurairah, Abu Bakrah, Abu Musa al-Asy`ari, Samurah ibn Jundub, `Ammar ibn Yasir, Ibn Mas`ud, `Amr ibn al-`Ash, Usamah ibn Zaid, Haritsah ibn Nu`man, Abdullah ibn Salam, Abdullah ibn Umar, Ibn Abbas, al-Hasan ibn Ali, Abu Humaid al-Sa`idi, Salamah ibn al-Akwa`, Ka`ab ibn Malik dan Hassan ibn Tsabit dan lain-lain.[22]

DR. Muhammad Amahzun bukan orang pertama dan satu-satunya yang melakukan kajian mendalam tentang masalah ini. Sejumlah ulama telah lebih dulu melakukannya, sebut saja Abu Bakr ibn al-`Arabi (w.543H) dalam karyanya, al-`Awashim min al-Qawashim, dan `Abd al-Halim Ibn Taimiyah (w.728H) dalam beberapa karya monumentalnya, terutama Minhaj al-Sunnah. Karya-karya yang menaruh perhatian serupa kini terus bermunculan, seperti Daur al-Mar’ah al-Siyasi fi `Ahd al-Nabi saw. wa al-Khulafa’ al-Rayidin[23] (2001), karya Asma’ Muhammad Ziyadah. Tesis master di Dar al-`Ulum-Cairo University ini lebih banyak membahas peran politik `Aisyah ra., terutama selama masa fitnah yang membawanya kepada Perang Jamal. Karya lain yang tidak boleh luput tentunya adalah `Ashr al-Khilafah al-Rasyidah; Muhawalah li Naqd al-Riwayah al-Tarikhiyah wafq Manahij al-Muhadditsin (1995), karya Prof. DR. Akram al-Umari. Seperti tertera pada judulnya, karya Prof. al-Umari ini merupakan sebuah upaya penerapan metode kritik ahli hadits pada riwayat-riwayat sejarah.

Prof. DR. Akram al-Umari dapat dianggap sebagai ahli sejarah masa kini yang paling gigih berupaya melakukan kajian-kajian mendalam terhadap riwayat-riwayat sejarah Islam klasik. Pengalamannya mengajar materi sejarah Islam di Universitas Baghdad dan Universitas Islam Madinah selama lebih dari tiga puluh tahun, telah menghasilkan puluhan tesis master dan disertasi tentang kajian sejarah Islam dari sejumlah mashasiswa pasca sarjana yang dibimbingnya. Beberapa di antaranya mengkaji secara spesifik riwayat-riwayat yang terkait dengan tragedi pembunuhan Usman ra. dan fitnah besar yang ditimbulkannya, misalnya Fitnat Maqtal Utsman ibn Affan, karya Muhammad Abdullah al-Ghabban, Khilafat Utsman ibn Affan, karya Muhammad al-`Awaji, dan Marwiyyat Abi Mikhnaf fi Tarikh al-Thabari, karya Yahya al-Yahya.

Dengan tersedianya begitu banyak karya yang telah meneliti masalah seputar pembunuhan Usman ra. dan sikap para sahabat terhadapnya, seharusnya tidak terlalu sulit bagi Farag Fouda untuk menyajikan fakta-fakta yang kuat dan menghindari riwayat-riwayat yang jelas terbukti lemah. Dengan begitu, Fouda tidak mudah membuat penafsiran dan kesimpulan yang akibatnya malah menghilangkan kebenaran, seperti berikut,



”Ia (Usman) terbunuh oleh tangan umat Islam sendiri yang bersepakat memberontak dan mengepung rumahnya. Dan anda dapat saja membayangkan bahwa kematian Usman telah melegakan hati sebagian umat Islam. Bahkan, permusuhan sebagian umat Islam atas dirinya berlangsung setelah kematiannya….” (KYH, hal. 25)

Usman ra. Dimakamkan di Pekuburan Yahudi?

Kelemahan Fouda juga terlihat saat mengutip salah satu riwayat al-Thabari tentang prosesi pemakaman Usman dan menerimanya bulat-bulat sebagai fakta yang benar. Riwayat yang termuat dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk itu menyebutkan,

“Mayat Usman harus bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan. Ia ditandu empat orang, yaitu Hakim bin Hizam, Jubair bin Math`am, Niyar bin Makram dan Abu Jahm bin Huzaifah. Ketika ia disemayamkan untuk dishalatkan, datanglah sekelompok orang Anshar yang melarang mereka untuk menyalatkannya. Di situ ada Aslam bin Aus bin Bajrah as-Saidi dan Abu Hayyah al-Mazini. Mereka juga melarangnya untuk dimakamkan di pekuburan Baqi`. Abu Jaham lalu berkata, ‘Makamkanlah ia karena Rasulullah dan para malaikat telah bershalawat atasnya’. Akan tetapi, mereka menolak, ‘Tidak, ia selamanya tidak akan dimakamkan di pekuburan orang Islam. Lalu mereka memakamkannya di Hisy Kaukab (sebuah areal pekuburan Yahudi). Baru tatkala Bani Umayyah berkuasa, mereka memasukkan areal pemakaman Yahudi itu ke dalam kompleks Baqi`” (KYH, hal. 26).

Berdasarkan riwayat ini dan lainnya, lalu Fouda menarik beberapa kesimpulan; 1). Jenazah Usman tidak dapat dimakamkan sampai dua malam; 2). Sebagian muslim menolak untuk menyalatkannya; 3). Jenazahnya dilempari batu, diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan; 4). Usman dimakamkan di pekuburan Yahudi. (KYH, hal. 26-27).

Bagi sebagian orang, “fakta-fakta” semacam itu tentu mencengangkan. Seolah-olah itu hal baru yang selama ini disembunyikan para sejarawan Muslim. Bagaimana tidak, Usman bin Affan; sahabat dan menantu Rasulullah saw., khalifah ketiga, si pemalu yang membuat malaikat pun malu kepadanya, penyedia air bersih di Madinah, penyebab Bai`at al-Ridhwan di Hudaibiyah, peraih jaminan masuk surga dan sederet predikat baik lainnya, diperlakukan setragis itu di akhir hayatnya?!

Tapi, sebagian orang di Indonesia justru bersorak gembira menerima cerita sumir dari Fouda tentang Usman r.a. Itulah yang kemudian dilakukan oleh Goenawan Muhamad, Samsu Rizal Panggabean, Prof. Dr. Azumardi Azra dan Prof. Dr. Syafii Maarif. Ironisnya, dua nama terakhir itu justru dikenal sebagai guru besar ilmu sejarah. Mereka memuji-muji buku Fouda. Padahal, tanpa harus menjadi profesor sejarah, seorang dengan mudah dapat melihat kelicikan Fouda dalam menipulasi data sejarah. Cukup melacak kitab sejarah yang ditulis al-Thabari dalam subjudul, Dzikr al-Khabar `an al-Mawdhi` al-Ladzi Dufina fihi `Utsman…[24] Buku inilah yang dirujuk dengan tidak cermat oleh Fouda. Simaklah fakta-fakta yang tersaji dalam Kitab al-Thabari tersebut,



1. Terkait masalah prosesi pemakaman Usman, al-Thabari sebenarnya menyebut 9 riwayat dari 4 sumber, dengan urutan seperti berikut; Ja`far bin Abdullah al-Muhammadi (2 riwayat), al-Waqidi (4 riwayat), Ibn Sa`ad (1 riwayat), dan Saif bin Umar (2 riwayat). Riwayat yang dikutip Fouda di atas adalah riwayat ketiga al-Waqidi.

2. Redaksi riwayat-riwayat tersebut berbeda-beda dan banyak yang kontradiktif;

a. Kapan Usman dimakamkan? Usman dibunuh pada hari Jum`at pagi. Sedangkan pemakamannya, menurut riwayat al-Muhammadi: setelah tiga hari; riwayat kedua al-Waqidi: malam itu juga; dan riwayat pertama Saif: malam itu juga.

b. Siapa yang menshalatkan jenazah Usman? Menurut riwayat pertama al-Waqidi: Jubair bin Muth`im, Hakim bin Hizam, dan 12 orang lainnya; riwayat kedua al-Waqidi: Jubair bin Muth`im, Huwaithib bin `Abd al-`Uzza, Abu Jahm bin Hudzaifah, Hakim bin Hizam, dan Niyar al-Aslami; riwayat pertama Saif: Marwan bin al-Hakam, Zaid bin Tsabit, Thalhah bin `Ubaidillah, Ali, al-Hasan bin Ali, Ka`ab bin Malik, dan sejumlah sahabat lainnya; dan riwayat kedua Saif: Marwan bin al-Hakam.

c. Di mana jenazah Usman dimakamkan? Menurut riwayat pertama al-Muhammadi: Hasy Kaukab; riwayat kedua al-Muhammadi: sebuah kebun di luar (Baqi`); riwayat pertama al-Waqidi: Baqi`; riwayat kedua al-Waqidi: perkebunan dekat Baqi`; riwayat keempat al-Waqidi: Baqi`; riwayat Ibn Sa`ad: Hasy Kaukab; dan riwayat pertama Saif: areal Baqi` yang berdampingan dengan Hasy Kaukab.

Melihat perbedaan redaksi yang begitu mencolok, tampak kelicikan Fouda ketika mencatut riwayat ketiga al-Waqidi untuk mendukung argumentasinya. Pengutipan riwayat tersebut menunjukkan bahwa Fouda tidak cermat dan tidak komprehensif dalam mengutip riwayat, karena hanya mengambil satu riwayat yang lemah sumbernya. Semua riwayat itu adalah lemah, dan anehnya Fouda sengaja mengambil satu saja riwayat yang lemah. Itupun baru seputar riwayat-riwayat al-Thabari. Lantas bagaimana jika dibandingkan dengan riwayat-riwayat kitab lain, misalnya al-Thabaqat al-Kubra, karya Ibn Sa’ad. Dalam kitab ini, Ibn Sa`ad menyebut beberapa riwayat dari `Amr bin Abdullah dan al-Waqidi yang jelas-jelas menyatakan Usman dimakamkan langsung pada malam harinya di Baqi`.[25] Jadi, dengan hanya menyebut satu riwayat yang lemah, Fouda jelas-jelas melakukan upaya menipulasi data sejarah dengan membuat kesan seolah-olah hanya ada riwayat itu saja

Fouda Memanipulasi Data!

Keterangan tentang Hasy Kaukab sebagai areal pekuburan Yahudi dalam buku Fouda (hal. 26), menjadi titik paling krusial di sini. Keterangan tersebut tidak tercantum dalam redaksi riwayat al-Waqidi yang dikutip Fouda. Bahkan juga tidak terdapat dalam riwayat-riwayat lain yang disebut al-Thabari. Di sini Fouda telah melakukan kecurangan! Dan, akibatnya sangat fatal bagi siapa pun yang membaca bukunya, karena akan membayangkan, bahwa Usman r.a. dimakamkan bukan di pemakaman Islam, tetapi di pemakaman Yahudi. Inilah salah satu fitnah dan kejahatan besar yang dilakukan Fouda dalam melecehkan menantu Rasulullah dan salah satu sahabat Nabi terkemuka. Aneh, jika kejahatan Fouda seperti ini justru didukung dan dibanggakan oleh para sejarawan di Indonesia seperti Azyumardi Azra dan Syafii Maarif.

Kasus pembunuhan Usman sebenarnya telah ditelaah secara mendalam dalam tesis master Muhammad al-Ghabban di Universitas Islam Madinah dengan judul Fitnat Maqtal `Utsman. Dalam tesisnya, al-Ghabban meneliti dengan cermat semua riwayat tentang prosesi pemakaman dan penyalatan Usman. Kesimpulannya, tidak ada satu pun riwayat yang benar-benar shahih, tetapi semuanya lemah. Hanya saja, ada sebagian yang saling menguatkan. Di antaranya, jenazah Usman dishalatkan dan dimakamkan di Hasy Kaukab, sebuah kebun dekat Baqi` yang kemudian dimasukkan ke dalam areal Baqi`[26]. Jadi, sebenarnya, riwayat yang menyatakan bahwa Usman dimakamkan di pemakaman Yahudi, sama sekali tidak ada, dan itu adalah fantasi Fouda sendiri.

Fouda juga melakukan pencitraan terhadap Usman yang sangat buruk, seperti penyalahgunaan kekuasaan, nepotisme, penyelewengan keuangan negara, penyuapan sahabat-sahabat senior dan lainnya. Ironinya, Fouda juga menggambarkan sahabat-sahabat yang menerima suap sama “bejatnya” dengan Usman. Inilah contoh lain kecurangan Fouda:

“Bingkisan-bingkisan yang diberikan Usman itu sesungguhnya tidaklah kecil dan terbatas. Al-Zubair diberi uang sebanyak 60 ribu dirham. Thalhah mendapat 100 ribu. Usman mungkin juga sedang memikat hati mereka karena kebijakan-kebijakannya tak jarang bertentangan dengan apa yang para sahabat itu pikirkan. Ia mungkin sudah merasa bahwa ia telah mengambil pelbagai kebijakan yang tidak mesti diterima oleh para sahabat. Karena itu, adalah penting baginya untuk mengangkat harkat dan martabat mereka. Dengan begitu mereka diharapkan untuk tidak melakukan revolusi atau sekadar marah” (KYH, hal. 64).
Fouda sama sekali tidak menyebut nama sahabat yang menolak kebijakan Usman sesuai interpretasinya itu. Malah sebaliknya, sahabat-sahabat senior digambarkan ikut hanyut dalam gaya hidup mewah dan bergelimang harta. Untuk memperkuat argumentasinya, Fouda mengandalkan riwayat-riwayat Ibn Sa`ad dalam al-Thabaqat al-Kubra yang memerinci kekayaan mereka. Misalnya Usman, setelah terbunuh ia meninggalkan 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar. Kekayaannya yang lain berupa 1000 ekor unta dan sejumlah pemberian sedekah sekitar 200.000 dinar untuk Baradis, Khaibar dan Wadi al-Qura. Sedangkan peninggalan al-Zubair berjumlah sekitar 51 atau 52 juta dirham. Di Mesir, Aleksandria dan Kufah, ia juga punya beberapa armada laut. Di Basrah, ia punya angkutan darat dan hasil panen yang dipersembahkan kepadanya oleh penduduk setempat (KYH, hal. 65).

Itulah cara Fouda dalam membuat citra buruk terhadap Usman. Padahal, sebenarnya, dalam riwayat tersebut Ibn Sa`ad hanya mengungkap data kekayaan peninggalan Usman, tanpa menerangkan darimana sumber dan bagaimana penggunaannya. Tapi di sinilah interpretasi subyektif Fouda bermain, jumlah yang begitu besar itu langsung dikonotasikan negatif.

Baiklah, misalkan dengan asumsi riwayat tersebut valid, seharusnya jumlah sebesar itu pun tidaklah mengejutkan. Usman adalah seorang pebisnis sukses sejak sebelum masuk Islam dan tetap menjalankan bisnisnya hingga setelah menjadi Khalifah. Sejumlah riwayat yang dituturkan Ibn Hajar memberi gambaran kekayaan Usman. Di antaranya, pada permulaan masa hijrah, kaum muslim di Madinah kesulitan mendapat air bersih. Selain hanya mata air Rumah yang tersedia dan itupun harus dibeli. Usman membeli sumur itu dan mewakafkannya untuk umat Islam. Lain lagi dengan rencana perluasan masjid Nabawi di masa Nabi saw. Mengingat kas negara tidak cukup, Rasulullah saw mengumumkan pengumpulan dana. Maka Usman segera membeli tanah untuk perluasan tersebut seharga 25.000 dirham. Ketika Nabi saw menghimpun dana guna membiayai perang Tabuk yang terjadi di masa paceklik, Usman mendermakan 1000 dinar,[27] 940 ekor unta dan 60 ekor kuda[28].

Seiring dengan geliat kemajuan ekonomi di masa Umar, bisnis Usman semakin berkembang dan asetnya bertambah besar, jauh di atas rata-rata kaum muslim lainnya. Riwayat al-Bukhari (no. hadits: 3059) menggambarkan, ketika kekayaan negara berupa hewan ternak semakin banyak, Umar terpaksa membuat lahan konservasi eksklusif (al-Hima). Umar berkata kepada pegawainya, “Izinkan para pemilik ternak untuk menggembala di al-Hima, tapi jangan sekali-kali mengizinkan [Abdurrahman] bin Auf dan [Usman] bin Affan. Karena jika seluruh ternak mereka berdua binasa, mereka masih punya kebun dan ladang”. Al-Bukhari juga meriwayatkan (no. hadits: 2116) Usman melakukan jual beli tanah dengan Abdullah bin Umar, setelah menjadi Khalifah.

Jadi, Usman memang sangat kaya, karena memang seorang saudagar yang sukses. Tapi, lagi-lagi, Fouda kembali melakukan kesalahan fatal ketika mengaudit harta peninggalan al-Zubair. Kebiasaannya mencomot satu riwayat secara acak membuatnya begitu enteng melewatkan riwayat Ibn Sa`ad sebelumnya. Kesalahan inilah yang mendorongnya kepada kesimpulan bahwa 51 atau 52 juta adalah jumlah keseluruhan nilai harta yang ditinggalkan al-Zubair.

Dalam riwayat yang luput dari perhatian Fouda itu dijelaskan, ketika meninggal, al-Zubair tidak meninggalkan warisan berupa uang sepeser pun, melainkan tanah yang meliputi hutan dan sejumlah rumah di beberapa tempat. Malangnya, al-Zubair meninggalkan utang dalam jumlah sangat besar, yaitu 2.200.000 dirham. Selain al-Zubair, beberapa kerabatnya juga pesimis seluruh harta warisannya dapat menutupi utang tersebut. Abdullah, putra al-Zubair cukup cerdik, tanah dan kekayaan ayahnya tersebut dijual sedikit demi sedikit dengan harga yang cukup fantastis. Setelah seluruh utang mendiang ayahnya dilunasi, Abdullah tidak segera membagikan sisanya kepada ahli waris, melainkan menunggu empat tahun sampai semua orang yang memiliki piutang dapat dilunasi. Tampaknya selama masa itu, Abdullah menginvestasikan harta waris tersebut sehingga jumlahnya bertambah banyak, yakni 53 juta dirham[29]. Dengan data-data seperti ini, pantaskah seorang Fouda dibanggakan sebagai penulis sejarah yang objektif dan ilmiah?

Kesalahan penerjemah lagi-lagi memperkeruh masalah. Kekayaan al-Zubair di Mesir, Aleksandria, Kufah dan Basrah yang dalam teks asli riwayat Ibn Sa`ad disebut Khithath dan Dur disalah-artikan menjadi armada laut dan angkutan darat! Padahal arti semestinya adalah beberapa bidang tanah dan beberapa rumah.

Istilah khithath juga dikenal dengan `Aqtha`, yang berarti tanah tidak produktif yang diberikan pemerintah kepada orang-orang tertentu guna dikelola dengan syarat-syarat tertentu pula. Sistem pemberian ini disebut al-Iqtha`. Menurut Prof. Dr. Akram al-Umari, sistem Iqtha` sudah diterapkan sejak masa Rasulullah saw dan terus berkembang pesat. Tujuannya sangat jelas, mengubah lahan tidak produktif menjadi lahan produktif yang berpotensi meningkatkan sumber devisa negara. Dalam hal ini, pemerintah harus menunjuk orang-orang yang mumpuni dan profesional. Syarat pemberian Iqtha` juga sangat ketat. Jika orang yang diserahi Iqtha` tidak sukses mengelolanya dalam tiga tahun, maka hak kepemilikannya dicabut kembali.

Di masa Umar ra., al-Zubair ra. dan Ali ra. termasuk yang ditunjuk untuk mengelola tanah Iqtha`. Di masa Usman, perkembangan `Iqtha` mencapai puncaknya, setidaknya 18 orang tercatat ditunjuk Khalifah untuk mengelolanya, termasuk al-Zubair, Sa`ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah. Hasilnya sangat menakjubkan, jika di masa Umar negara menerima devisa dari `Iqtha` sebanyak 9000 dirham pertahun, di masa Usman terjadi kenaikan sangat fantastis, yaitu menjadi 50.000.000 dirham pertahun. [30] Sebuah bukti kesuksesan kebijakan ekonomi Usman ra. yang sering dilupakan oleh orang seperti Fouda.

Dengan perkembangan ekonomi dan tingkat kesejahteraan rakyat yang begitu tinggi di masa Usman ra., angka-angka peninggalan kekayaan para sahabat tersebut seharusnya tidak menjadi bahan pertanyaan yang berlebihan. Apalagi jika diteliti lebih jauh, bagaimana gaya hidup dan cara mereka menggunakan kekayaan sehari-harinya. Tentu kita akan berdecak kagum dengan implementasi nyata “sebaik-baiknya harta yang baik adalah jika berada di tangan orang yang baik”. Barangkali, sebenarnya masalah ini lebih sederhana, seperti dikatakan Fouda sendiri, “Melontarkan tuduhan memang jauh lebih gampang daripada menggunakan akal pikiran untuk suatu pembahasan” (KYH, hal. 6).

Kesalahan Terjemah; Penyedap Tambahan Buku Fouda


Terlepas dari kecurangan Fouda, kesalahan cukup fatal juga dilakukan penerjemah. Misalnya, ditulis, “Umair bin Dzabi`i datang meludahinya, lalu ia mematahkan salah satu persendiannya” (KYH, hal. 26). Kalimat fa naza `alaih seharusnya diartikan melompat atau menyergap kearahnya, bukan datang meludahinya. Sedangkan kasara dhil`an seharusnya diartikan mematahkan salah satu tulang rusuk, bukan persendian.

Kesalahan berikutnya lebih fatal lagi, karena mengandung implikasi hukum yang sangat mendasar. Untuk lebih jelasnya, simak teks Arab buku Fouda dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia berikut ini,

فإن بعضا من كبار الصالحين مثل واصل بن عطاء، فقيه المعتزلة وإمامهم، وعمرو بن عبيد، الزاهد الورع، الذي وصفه الخليفة المنصور بقوله الشهير (كلكم يطلب صيد. غير عمرو بن عبيد)، كانا أجرأ منا حين أطلقا لقولهما العنان، وهما من هما، تدينا وفقها وعلما، فأنكرا فعل الفريقين في أصحاب الجمل، وأصحاب الصفين، وذكرا أنه “لا تجوز قبول شهادة علي وطلحة والزبير على باقة بقل (كل نبات اخضرت له الأرض)”،[31]

“Dan perhatikanlah sekarang, betapa beraninya para sahabat yang terkemuka dalam menggunakan kebebasan akalnya dalam berpendapat. Misalnya, Washil bin Atha’, ahli fikih Muktazilah dan imam besarnya, serta Amru bin `Ubaid, seorang yang asketis dan sangat wara yang pernah dipuji Khalifah al-Manshur sebagai orang yang tidak pernah mencari keuntungan pribadi dibandingkan orang lain. Mereka berdua bahkan berani mengatakan bahwa dalam kasus Perang Unta, dan juga Perang Shiffin, “Syahadat Ali, Thalhah dan al-Zubair tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi”. (KYH, hal. 51).



Penerjemah tampaknya tidak berhati-hati ketika menerjemahkan kaimat “fa inna ba`dhan min kibar al-shalihin” menjadi, para sahabat terkemuka. Padahal seharusnya, sesungguhnya beberapa tokoh saleh terkemuka. Akibat kesalahan ini sangat fatal, karena menempatkan Washil ibn `Atha’ dan `Amr ibn `Ubaid, dua tokoh aliran Mu`tazilah, sebagai sahabat Nabi saw. Apalagi pada ujung paragraf disebutkan, bahwa kedua tokoh Mu`tazilah yang menyalahkan semua kubu yang terlibat Perang Unta dan Perang Shiffin itu mengeluarkan pernyataan, “Syahadat Ali, Thalhah, dan al-Zubair tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi”.

Kesalahan yang sangat fatal! Karena pembaca akan menyimpulkan bahwa para sahabat terkemuka memandang syahadat semua orang yang terlibat perang tersebut, termasuk Ali, Thalhah dan al-Zubair tidak lagi legitimate, alias kafir! Padahal maksud kalimat, “laa tajuzu qabul syahadat `Ali, wa Thahlah, wa al-Zubair, `ala baqat al-baql”, adalah, “Kesaksian Ali, Thalhah, dan al-Zubair tidak lagi dapat diterima, sekalipun dalam perkara yang amat kecil” (menurut tokoh mu'tazillah tadi) "perkataan tokoh mu'tazilah ini sangatlah tidak benar karena semua shahabat adalah terpercaya". Jadi, arti syahadat di sini adalah kesaksian dalam peradilan, bukan syahadat yang merupakan syarat masuk Islam!

Penutup

Sekelumit uraian di atas hanyalah contoh kecil dari lemahnya metodologi, minimnya kapasitas keilmuan dan rendahnya amanah intelektual yang terpampang jelas dalam buku Fouda. Namun bagi Prof. Dr. Azyumardi Azra yang mengenalkan dirinya sebagai Guru Besar Sejarah dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ini, buku Fouda justru mendapatkan apresiasi yang membabi buta. Dalam sampul depannya, Azyumardi menulis:

“Karya Farag Fouda ini secara kritis dan berani mengungkapkan realitas sejarah pahit pada masa Islam klasik. Sejarah pahit itu bukan hanya sering tak terkatakan di kalangan kaum Muslim, tapi bahkan dipersepsikan secara sangat idealistik dan romantik. Karya ini dapat menggugah umat Islam untuk melihat sejarah lebih objektif, guna mengambil pelajaran bagi hari ini dan masa depan”.

Komentar yang lebih hebat disampaikan Prof. Dr. Syafi`i Maarif yang memperkenalkan dirinya sebagai Guru Besar Filsafat Sejarah, Universitas Nasional Yogyakarta (UNY) dalam sampul belakang buku ini,

”Terlalu banyak alasan mengapa saya menganjurkan Anda membaca buku ini. Satu hal yang pasti: Fouda menawarkan ”kacamata” lain untuk melihat sejarah Islam. Mungkin Fouda akan mengguncang keyakinan Anda tentang sejarah Islam yang lazim dipahami. Namun kita tidak punya pilihan lain kecuali meminjam ”kacamata” Fouda untuk memahami sejarah Islam secara lebih autentik, obyektif dan komprehensif”.



Karenanya, tidaklah berlebihan jika kita mempertanyakan relevansi komentar Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Prof. Dr. Syafi`i Maarif yang memberinya sederet apresiasi tinggi terhadap buku Fouda ini, sebagai karya yang kritis, obyektif, autentik dan komprehensif. Apalagi mengharuskan masyarakat muslim Indonesia meminjam “kaca mata kuda” Fouda untuk memahami sejarah Islam!

Buku Kebenaran yang Hilang, karya Farag Fouda ini tidak layak dibaca kalangan umum dan harus dibaca secara kritis oleh kaum intelektual. Karena jika tidak, alih-alih menemukan kebenaran yang hilang, justru malah akan kehilangan akal sehat dan menghilangkan kebenaran!

Wallahu a`lam.

* Peniliti Bidang Sejarah Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Jakarta.

[1] Hilyat al-Awliya’, Abu Nu`aim al-Ashbahani, vol. 1 hal. 305.
[2] Marwiyyat al-Sirah al-Nabawiyyah, Akram al-`Umari, hal. 1.
[3] Taqrib al-Tahdzib, Ibn Hajar, vol. 2 hal. 78.
[4] Mizan al-I`tidal, al-Dzahabi, vol. 3 hal. 420 dan Lisan al-Mizan, Ibn Hajar, vol. 2 hal. 314.
[5] Marwiyyat Abi Mikhnaf fi Tarikh al-Thabari, DR. Yahya ibn Ibrahim al-Yahya, Dar al-`Ashimah, Riyadh.
[6] Marwiyyat Abi Mikhnaf, hal. 42-45.
[7] Mizan al-I`tidal, vol. 4 hal. 253-254.
[8] Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, Ibn Jarir al-Thabari, Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah-Beirut, vol. 1 hal. 13.
[9] Selama mengumpulkan sebagian data tulisan ini, penulis mencarinya melalui layanan google.co.id dengan menulis kata kunci Faraj Faudah (ejaan asli Bahasa Arab). Hasilnya, ratusian artikel dan tulisan tentang tokoh ini akan muncul di depan mata Anda dengan menyematkan gelar kepadanya sebagai Syahid al-Kalimah, Syahid al-Hurriyyah, Syahid al-Fikr dan lain sebagainya.
[10] http://www.rafatosman.com/vb/t5616.html
[11] http://www.almanaraljadeed.com/show....32667&pageid=1
[12] Kalimat dalam tanda kurung kurawal diterjemahkan langsung dari teks Arab buku KYH, karena penerjemahannya kurang tepat, pen.
[13] Hasyiyat al-`Awashim min al-Qawashim, Muhibbuddin al-Khathib, hal. 142
[14] Pencantuman catatan kaki kisah ini terasa janggal, selain tidak terdapat dalam naskah Arab yang dimiliki penulis (format pdf terbitan Dar al-Nadwah), juga data bukunya yang sangat lengkap tidak lazim dengan cara penyebutan rujukan yang biasa dilakukan Fouda dalam buku ini.
[15] Thaha Husain; al-Majmu`ah al-Kamilah; al-Khulafa’ al-Rasyidun, al-Syarikah al-`Alamiyyah li al-Kitab-Beirut, vol. 4 hal. 366-367
[16] Fitnat Maqtal `Utsman ibn `Affan, Muhammad al-Ghabban, hal. 426.
[17] Buku DR. Muhammad Amahzun ini telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh DR. Daud Rasyid dkk. dengan judul Fitnah Kubra
[18] Tahqiq Mawaqif al-Shahabah, vol. 2 hal. 14.
[19] Ibid, vol. 2 hal. 16.
[20] Ibid, vol. 2 hal. 17.
[21] Ibid, vol. 2 hal. 23.
[22] Ibid, vol. 2 hal. 19-41.
[23] Buku ini telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan judul Peran Politik Wanita, terbitan Pustaka al-Kautsar.
[24] Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Ibn Jarir al-Thabari, vol. 2 hal. 687.
[25] Al-Thabaqat al-Kubra, Ibn Sa`ad, vol. 3 hal. 77-78.
[26] Fitnat Maqtal `Utsman, hal. 260-261
[27] Al-Khilafah al-Rasyidah min Fath al-Bari, DR. Yahya al-Yahya, Dar al-Hijrah-Riyadh, 1996, hal. 453-458.
[28] Sunan al-Tirmidzi, no. hadits 3785, dalam: Utsman ibn `Affan ra.; Syakhshiyyatuh wa `Ashruh, DR. Ali Muhammad al-Shallabi, Dar al-Fajr li al-Turats-Kairo, 2004, hal. 41.
[29] Al-Thabaqat al-Kubra, vol. 3 hal. 108-109.
[30] `Ashr al-Khilafah al-Rasyidah, hal. 241-245.
[31] Al-Haqiqah al-Gha’ibah, Faraj Faudah, http://www.daralnadwa.com, format pdf, hal. 19.

Read More...