Capres Langitan

eramuslim - Suminah, nama lengkapnya, yang biasa di panggil Mpok Minah, terlihat kusut wajahnya, sambil membolak-balikan Koran. "Ahh... sulit amat yaa milih presiden aja!" ujarnya.

Mas Parno si penjual pisang goreng yang biasa mangkal di depan rumahnya, dengan wajah sumringah, terlihat beberapa butiran keringat mengucur dari keningnya, dan setumpuk gorengan yang belum laku terjual, sedang matahari kian terik, menimpali celotehan Mpok Minah. "Wah aku juga sekarang lagi bingung nih, dulu saya milih Bu Mega, karena bapak saya katanya dapat wangsit dari mimpinya untuk selalu dukung Mega, kan Mega anaknya Soekarno... Jangan lupa lo Mpok, Soekarno itu ilmunya banyak, pasti kan anaknya juga begitu!" urainya polos. "Tapi terus terang aja, sekarang saya masih tetap susah... tapi ya pilih aja deh Mega lagi, abis wangsitnya begitu..." begitulah ujar Mas Parno yang tetap pada pendiriannya.


Nia, seorang karyawati salah satu bank, yang duduk di samping Mpok Minah, sambil menikmati sepiring ketoprak, menyahuti dengan santai, "Ehh, jangan asal pilih Bang, jangan mau susah melulu, pilih dong yang paling Abang senengin, biar ada perubahan. Kalau aku sih, SBY dong," tegasnya. "Kenapa? Ganteng, wibawa, dan terukur ucapannya...," begitu ujarnya sambil tersenyum kecil. "Udah bosan mas, negeri ini dipegang sipil nggak keruan begini, penggangguran banyak, kerusuhan di mana mana," ujarnya ceriwis.

"Eh Nia, kamu tahu tidak partai yang dukung SBY jadi Capres?" Celetuk Tono yang berada di samping kanannya. "Ya enggak tahu sih gitu jelas latar belakangnya?" Ujar Nia. "Tapi partai kan hanya alat saja, toh nanti kalau dia terpilih dia kan udah berjanji utuk memilih kabinetnya dari orang professional. Udah deh pilih SBY aja... enggak bakalan rugi..!" Ujarnya sedikit memaksa.

"Wah...wah, diskusi makin hangat yaa!" Celetuk Tono, putra Mpok Minah. "Kamu mau tanya nih calon gue, dengan tegas jawabnya, Wiranto! Menurut matematis nih gue bilang! Wiranto dan Mega akan menjadi 2 besar, dan Wirantolah yang paling bisa saat ini menghentikan gerakan Mega," gayanya layaknya pengamat politik kawakan. "Gue sih intinya asal jangan Mega! Berani taruhan, Wiranto pasti akan jadi presiden!" Sambil mengacungkan jempol tangannya. "Nih, nasehat gue, seharusnya ente-ente pade nih sesame ummat Islam harus mendukung dia agar Mega tidak kembali mimpin bangsa ini lagi, kan udah jelas situasinya kalau dia mimpin, banyak diemnya," ujarnya tegas dan langsung ngacir ke dalam rumah mpok Minah.

Pak Bintoro, tetangga sebelahnya yang sehari harinya sebagai guru madrasah terusik dengan dialog hangat tersebut, dia pun keluar dari rumahnya dan menimpali, "Kalian semua harusnya melihat sejarah, setahu saya, yang paling awal menggiring reformasi ini kan Pak Amien, dia kan dari Muhammadiyah! Dia yang paling getol tuh waktu nyuruh Soeharto turun. Jangan lupa tuch!"

"Tapi kan secara matematis Pak Amien akan kalah dari calon lainnya," ujar Nia menimpali.

"Kalah apanya pemilu aja belum!" ngotot Pak Bintoro. "Jadi siapa lagi yang kamu pilih yang wakilin ummat! Dia Pak Amien seharusnya yang kalian dukung biar menang, bersatulah! Lihat deh, pemimpin mana yang paling bersih dari latar belakang maupun kejelasan hartanya... Aduh, jangan pilih capres yang lain deh, yang tidak jelas juntrungannya, belum lagi ada kesalahan kesalahan masa lalu dan dekat dengan orde baru," ujarnya menutup diskusinya.

"Pak Bintoro!" Kejar Nia. "Kalau mau wakilin ummat ini, kenapa enggak pilih sekalian Hamzah Haz, kan dia dulunya orang PPP, udah ketahuan tuch Ka'bah lambang partainya, jangan buat bingung kita kita dong! Dan dia juga udah pengalaman, kan udah jadi wakil presiden, kenapa kita tak pilih dia aja, engkong engkong kita juga nyuruhnya pilih dia."

Pak Somad, suami Mpok Minah tersenyum mendengar dialog ini, "Subhanallah," ujarnya halus. "Luar biasa bangsa ini, se-RT aja untuk pilih presiden udah beragam, hati-hati jangan sampe pade berantem."

Lalu Mpok Minah, Nia, Pak Bintoro, serta Tono yang keluar lagi dari rumah memandang Pak Somad, seolah ingin mendengarkan pertimbangan dari Pak Somad. Pak somad mengerti, mereka semua ingin adanya tanggapan darinya, lalu dengan menghela nafas, Pak Somad berujar, "Saya sih tetap pilih ALLAH!" Ujarnya tegas.

Mereka menjadi semakin bingung, lalu lanjutnya, "Saya kembalikan semua kepadaNYA, manusia udah berikhtiar, Allah lah penentu keputusanNYA. Udah deh kita semua yakin itu pasti ada jawabannya. Sebagai manusia kita perlu ikhtiar untuk memilih calon kita, tapi perlu diingat setiap kita memilih sesuatu, itu akan terbawa menuju akherat. Jangan salah pilih, jangan golput, jangan ikut-ikutan, pilihlah calon presiden dengan penilaian langit! Jangan pikirin dulu kita kalah atau menang, apalagi secara matematis, kan kemenangan itu hanyalah milik Allah, jangan pilih pemimpin bermental dunia."

"Apa tuh pak, penilaian langit?" Ujar Tono ingin tahu.

Lalu Pak somad menimpali, "Pemimpin yang sesuai penilaian langit adalah pemimpin yang akan membawa rakyatnya semakin dekat dengan Tuhannya! Itu inti masalahnya, kalo rincinya, pertama, ya cari aja pemimpin yang paling jelas aqidahnya! tidak terkotori hal-hal yang membuat aqidahnya cacat, dari tindakan maupun perkataannya. Kedua, pemimpin yang tidak haus terhadap harta. kan kita bisa lihat jelas tuh..., apalagi kalo udah jadi pejabat, kan kita bisa lihat perubahannye. Hartanye makin banyak atau tetap," ujarnya senyum.

"Ketiga," lanjutnya, "Pemimpin yang paling banyak infak buat rakyatnya. Nah ini sebuah ciri khusus nih buat pemimpin atau orang orang mukmin, coba dengerin nih di surat Ali Imran ayat 92, 'Kamu sekali kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu nafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui'. Jadi pemimpin yang harus dipilih adalah infaqnya makin banyak dari harta-harta yang dia paling cintai. Itu syaratnya, bukan nilepnya semakin banyak. He...he..he... Nah jelas kan siapa yang harus kita pilih. Coba aja deh kita telusuri para calon pemimpin kita dari tiga hal itu, saya yakin kalian akan menemukannya," jelasnya layaknya seorang Kiyai.

Mpok Mineh, Nia, Tono dan Mas Parno tersenyum lega dan Pak Bintoro lebih tersenyum lepas, karena mereka sekarang sudah punya pegangan untuk menentukan pilihannya.

Abu Faiz

Sumber : http://www.oaseislam.com

0 komentar: