Kerancuan perspektif sejarah Islam dari kaum Islam Liberal (Studi Kasus Buku Kebenaran yang Hilang, Karya Farag Fouda)

Pendahuluan

Pergulatan antara kebenaran (haq) dan kebatilan merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan secara azali sebagai ujian (`ibtila’) bagi manusia, guna menyeleksi anasir yang baik dari yang buruk, sehingga di akhirat kelak, Allah swt. akan menempatkannya pada posisi balasan (jaza’) yang layak dengan hasil ujian masing-masing. “Dan hanyalah milik Allah, segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, supaya Dia memberi balasan (neraka) kepada orang-orang yang berbuat jahat atas apa yang telah mereka kerjakan. Dan membalas orang-orang yang berbuat baik dengan balasan yang lebih baik (surga)”. (al-Najm: 31).

Al-Qur’an dan al-Sunnah Berbicara tentang Para Sahabat

Sejak lebih seribu tahun, umat Islam memandang para sahabat Nabi saw. sebagai generasi terbaik yang dilahirkan peradaban Islam. Dasarnya jelas, Al-Qur’an berkali-kali memuji mereka, baik dalam kapasitas individu maupun genarasi yang utuh. Merekalah yang paling pantas menyandang predikat umat terbaik (khayr ummah) yang dikeluarkan Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada seluruh manusia. “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. (Ali `Imran: 110). Predikat yang sama diberikan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Manusia terbaik adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari seluruh sahabat Nabi saw., para sahabat yang lebih dulu memeluk Islam dan berjuang menegakkannya bersama Rasulullah saw. memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Merekalah al-sabiqun al-awwalun yang telah dipastikan meraih keridhaan Allah swt., seperti dinyatakan dalam firman-Nya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama [masuk Islam] dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (al-Taubah: 100).

Kedudukan sangat istimewa juga diberikan Rasulullah saw. Bagi beliau, tingkat kesalehan dan kualitas amal para sahabat tersebut tidak dapat disetarakan dengan siapa pun juga, meskipun yang dikerjakan generasi berikutnya tampak lebih besar. Karenanya, Rasulullah saw. melarang mencibir dan mencaci karya para sahabat utamanya itu,

لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ

“Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seorang di antara kalian bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud, maka tidak akan setara dengan satu mudd atau setengahnya dari sedekah mereka”. (HR. Bukhari dan Muslim)



Demikianlah kedudukan para sahabat Nabi saw. yang telah digariskan Al-Qur’an dan al-Sunnah. Karya-karya besar mereka mendapat penghargaan abadi dari dua sumber yang sedikit pun tidak diragui kebenarannya. Perjalanan hidup mereka, dengan segala keragaman kondisi dan dinamikanya sebagai manusia yang terbatas, adalah teladan yang paling ideal bagi seluruh manusia dan sepanjang masa. Karena itulah, Allah swt. menggariskan takdir mereka harus mengalami berbagai kondisi yang lazim dialami oleh seluruh manusia baik dalam skala individu maupun masyarakat. Fenomena kaya dan miskin, krisis ekonomi dan kemajuannya, suhu politik yang normal dan kekacauan pun mereka alami semuanya. Namun yang pasti, dalam semua kondisi tersebut mereka menunjukkan kapasitas individu dan masyarakat ideal yang berusaha sekuat tenaga menggabungkan antara idealisme wahyu dan realitas.

Keutuhan keteladanan ini dipahami betul oleh sosok Abdullah ibn Umar ra., seorang sahabat utama yang banyak mengalami peristiwa besar hingga periode Bani Umayyah (wafat 73H). Kepada murid-muridnya dari generasi Tabi`in, Ibn Umar ra. berpesan, “Siapa yang mencari teladan, hendaklah meneladani orang-orang yang telah meninggal, yaitu sahabat-sahabat Muhammad saw. Merekalah genarasi terbaik umat ini, hati mereka lebih bersih, ilmu mereka lebih dalam, dan mereka sangat jauh dari sikap berlebihan. Merekalah generasi yang dipilih Allah untuk menyertai Nabi-Nya saw. dan menyampaikan agama-Nya. Maka teladanilah akhlaq dan jejak hidupnya, karena mereka adalah sahabat-sahabat Muhammad saw. dan telah mendapat petunjuk yang lurus”.[1]

Demikianlah pemahaman umat Islam tentang masalah ini. Namun seiring dengan memudarnya tradisi keilmuan Islam, pemahaman ini perlu penyegaran kembali. Kredibilitas para sahabat sebagai fundamen aktif peradaban Islam, tidak hanya dipertanyakan, melainkan sedang diruntuhkan dengan cara yang sistematis. Seandainya langkah-langkah destruktif ini dilakukan oleh non muslim (baca: orientalis), barangkali akan lebih mudah disikapi. Tapi ketika pelakunya adalah orang Islam sendiri maka tak pelak akan menimbulkan dampak yang luar biasa besar. Setidaknya, umat menjadi bingung dan mulai meragukan kebenaran sejarahnya sendiri. Akhirnya, umat akan mengidap amnesia sejarah dan kehilangan jati diri, karena tidak lagi dapat bercermin dan mengambil pelajaran dari model generasi paling ideal sepanjang zaman. Farag Fouda dan Distorsi Sejarah

Itulah yang dilakukan Farag Fouda dalam bukunya, Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin. (edisi kedua, Agustus: 2008). Selanjutnya buku ini disingkat KYH. Buku yang diterbitkan Yayasan Wakaf Paramadina bersama Penerbit Dian Rakyat ini, tidak hanya berusaha menjatuhkan kredibilitas individu para sahabat dengan mengangkat fakta-fakta lemah yang menurutnya selama ini ditutup-tutupi, melainkan juga menghapus karya kolektif generasi sahabat dalam bidang politik dan sosial dari lembaran sejarah. Buku Fouda ini kerap menggunakan fakta yang lemah, mengabaikan fakta yang lebih kuat, melakukan kecurangan, tidak mencantumkan rujukan, dan bahkan metodologi kajiannya rancu. Tapi sungguh ironi, buku ini mendapat apresiasi sekaligus promosi yang sangat hebat dari Prof. DR. Azyumardi Azra dan Prof. DR. Syafi`i Maarif, keduanya adalah Guru Besar Sejarah, dan sejumlah kalangan di Indonesia.

Dengan demikian, distorsi serajah Islam di Indonesia telah memulai babak baru. Kajian sejarah Farag Fouda, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan al-Fitnat al-Kubra karya Thaha Husain. Tapi buku semacam itu kini tidak lagi dipandang terpinggirkan, melainkan sedang dibawa kedalam arus, atau membuat arus baru pandangan kesejarahan di Indonesia, karena dipromosikan oleh kalangan intelektual dan akademik sekaliber Guru Besar Sejarah!!

SEKILAS TENTANG PENULISAN SEJARAH ISLAM KLASIK

Sejarawan Ahli Hadits dan Sejarawan Akhbari

Penulisan sejarah Islam tidak lepas dari perkembangan penulisan hadits Nabi saw. Para pelopor penulisan sejarah Islam adalah ulama-ulama hadits terkemuka yang berjasa besar dalam upaya pembukuan hadits. Dengan demikian, penulisan sejarah Islam telah dilakukan sejak dini, terlebih lagi periode sirah Rasulullah saw. yang menjadi fokus perhatian mereka. Para penulis sejarah terkemuka periode ini antara lain Aban ibn `Utsman, Urwah ibn al-Zubair, Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri, Muhammad ibn Ishaq dan Musa ibn `Uqbah.

Dalam penilaian para kritikus hadits, sejarawan-sejarawan diatas mendapat predikat kredibilitas sangat tinggi yaitu tsiqah atau setidaknya shaduq,[2] sehingga bobot riwayat mereka pun umumnya teruji valid dan kuat. Kondisi ini berbeda dengan para sejarawan generasi berikutnya yang disebut Akhbari atau Ikhbari karena lebih banyak mengungkap fakta-fakta sejarah, mulai periode Khulafa’ Rasyidun, termasuk masa-masa fitnah yang berkembang sejak kematian `Utsman ibn `Affan hingga Bani Umayyah.

Hampir seluruh sejarawan Akhbari tidak luput dari penilaian para kritikus hadits. Hasilnya, mereka tidak hanya dinyatakan lemah dalam periwayatan hadits, tapi juga cenderung tendensius karena menganut ideologi-ideologi yang berkembang setelah masa fitnah. Hal ini tidak mengherankan, karena seluruh sejarawan tersebut lahir setelah masa fitnah dan periode awal Bani Umayyah yang menandai kemunculan aliran-aliran ideologis dalam Islam, baik bermotif agama maupun politik, atau keduanya.

Muhammad ibn Sa’ib al-Kalbi (w.146H), Abu Mikhnaf Luth ibn Yahya (w.157H), dan Nashr ibn Muzahim al-Tamimi (w.212H) misalnya, mereka adalah sejarawan yang tendensius dan pengantut syi`ah fanatik. Afiliasi ideologis ini sangat berpengaruh terhadap bobot riwayat mereka. Tentang Ibn Sa’ib al-Kalbi, Ibn Hajar menyatakan dia adalah penganut syi`ah fanatik dan mendustakan riwayat.[3] Abu Mikhnaf dinilai lebih parah lagi, bukan sekadar periwayatan haditsnya yang sangat lemah, melainkan juga riwayat sejarahnya.[4]

Dalam karya DR. Yahya al-Yahya yang berjudul Marwiyyat Abi Mikhnaf fi Tarikh al-Thabari[5] disimpulkan, bahwa Abu Mikhnaf adalah seorang penganut Syi`ah sangat fanatik, riwayatnya matruk (diabaikan), suka berdusta (kadzdzab), suka mencaci sahabat Nabi saw. dan banyak memalsukan riwayat atas nama perawi-perawi tsiqah (terpercaya).[6]

Sedangkan Ibn Muzahim adalah seorang penganut Syi`ah ekstrim fanatik. Al-Dzahabi menyebutnya “seorang penganut rafidhah ekstrim (rafidhi jalad). Menurut al-`Uqaili, Ibn Muzahim adalah penganut Syi`ah, riwayatnya tidak konsisten dan banyak kesalahan. Sedangkan menurut Abu Khaitsamah, dia banyak berbohong”.[7]

Cara Berinteraksi dengan Riwayat Akhbari

Dengan segala kelemahannya, karya-karya sejarawan Akhbari tetap memiliki kelebihan yang patut diperhitungkan, yaitu berupa kekayaan data dan informasi yang dapat menggambarkan suatu peristiwa dengan utuh dan detil. Faktor inilah yang membedakannya dari karya sejarawan ahli hadits yang meskipun valid dan kuat, cenderung tidak utuh, sebagai konsekuensi logis dari kritik riwayat yang mereka terapkan. Karena itu, sejarawan-sejarawan besar periode berikutnya, seperti Ibn Sa`ad, al-Baladzuri, dan Ibn Jarir al-Thabari, mengandalkan riwayat-riwayat sejarawan Akhabari dalam karya-karya sejarah mereka.

Dengan mencantumkan riwayat-riwayat Akhbari, bukan berarti serta merta mengakui kekuatan dan kebenarannya. Para sejarawan membedakan betul dua masalah tersebut. Oleh sebab itu, mereka membingkai periwayatan dari sejarawan Akhbari dengan perangkat sangat penting yang memungkinkan riwayat tersebut untuk dikritisi dengan mudah, pada masa tersebut tentunya, yaitu isnad (mata rantai narator atau sumber yang menyampaikan riwayat). Ini berarti para sejarawan tersebut mengakui, riwayat-riwayat sejarawan Akhbari yang mereka kutip banyak yang tidak kuat, bahkan tidak benar, dan tidak layak dijadikan argumentasi untuk menyimpulkan sebuah fakta.

Pengakuan al-Thabari tidak Semua Riwayatnya Kuat

Masalah ini dapat dibilang sangat krusial, karena orang yang tidak paham dengan metode penulisan para sejarawan klasik ini, akan mengira setiap riwayat sejarah yang tercantum dalam karya mereka adalah fakta sejarah yang kuat. Padahal Al-Thabari misalnya, menjelaskan masalah ini dengan sangat baik dalam pendahuluan karyanya, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk,

“Apabila ada berita tentang peristiwa yang dialami oleh sebagian generasi masa lalu yang disebut dalam karyaku ini yang tidak dapat diterima oleh pembacanya, atau dianggap berlebihan oleh pendengarnya, disebabkan tidak ada bukti yang mendukung autentisitasnya, ataupun tidak sesuai fakta. Maka katahuilah, berita itu bukan berasal dari kami, melainkan dari orang yang menyampaikannya kepada kami. Kami hanya mencantumkan sesuai yang disampaikannya kepada kami”.[8]

Berdasarkan kenyataan ini, sejarawan kontemporer yang hendak menulis tentang sejarah Islam mesti memahami seluk beluk penulisan sejarah Islam klasik. Dia tidak boleh mengutip riwayat sejarah secara sembarangan dan menganggapnya sebagai fakta, apalagi untuk mendukung kesimpulan-kesimpulan yang dibuatnya. Karena cara ini tidak hanya reduktif dan distortif, melainkan juga akan mengabaikan sekian banyak fakta yang jauh lebih kuat dan mengaburkan kerangka sejarah yang dibangun berdasarkan semangat dan nilai generasi yang menjadi pelakunya.


TANGGAPAN KRITIS ATAS BUKU FOUDA




Siapa Farag Fouda?
Farag Fouda lahir pada tahun 1945 di Mesir. Doktor ekonomi pertanian ini dikenal luas sebagai juru bicara kaum sekular yang paling lantang dan berani. Pendiriannya yang kokoh tentang keharusan memisahkan agama dari negara, dan penolakan kerasnya terhadap penerapan syari`at, seringkali menyeret Fouda kedalam debat publik dan polemik terbuka di media massa dengan sejumlah aktivis Islam di Mesir.

Popularitas Fouda semakin meroket setelah kematiannya yang begitu tragis. Fouda dibunuh di depan kantornya di Madinat al-Nashr Kairo, pada tahun 1992. Peristiwa ini menimbulkan gejolak yang begitu hebat pada diri para pengagumnya, sehingga dalam berbagai tulisan yang menangisi kematiannya, Fouda ditempatkan selayaknya seorang pahlawan yang gugur sebagai syahid.[9] Buku-buku Fouda, terutama al-Haqiqah al-Gha’ibah (edisi Indonesia: Kebenaran yang Hilang) semakin ramai diperbincangkan dan dipromosikan dengan gencar. Bagi para pengagum Fouda, buku ini dianggap telah memberi pencerahan tentang fakta-fakta sejarah Islam yang selama ini ditutup-tutupi demi kepentingan pihak-pihak yang sering mereka sebut Islamiyyun (aktivis Islam). Karenanya tidak mengherankan jika sanjungan setinggi langit mereka lontarkan terhadap buku tersebut hingga pada tahap –yang kadang-kadang—membuat miris sekaligus menggelikan.

DR. Ra’fat Osman, anggota Ikatan Advokat Arab (al-Muhamun al-`Arab) mempromosikan buku al-Haqiqah al-Gha’ibah dalam websitenya seperti berikut,
“Saya harap Anda senang membaca buku ini, karena dia adalah buku kritis terbaik yang pernah saya baca. Selain itu, bahasanya juga mengalir dan mudah dipahami, sehingga karena begitu hanyut, saya sempat berbisik dalam hati, ‘Seandainya aku pada posisi mereka (para pemberontak, pen), maka aku pun pasti membunuhnya (Usman ra. pen)’. Gaya bahasa Fouda sangat meyakinkan. Selain dia juga mengutip sanad-sanad (sumber) riwayat sejarah dengan sangat cermat, sampai-sampai mencantumkan halaman buku-buku sejarah yang menjadi rujukannya, seperti (Tarikh) al-Thabari, al-Thabaqat al-Kubra karya Ibn Sa`ad dan lain sebagainya”.[10]

Pujian seperti ini tentu saja berlebihan atau lebih tepatnya, keterlaluan. Siapa pun yang membaca karya Fouda ini dengan cermat, akan segera menemukan kelemahan-kelemahan mendasar di dalamnya. Menurut Jamal Sulthan, Pengarah Majalah al-Manar al-Jadid, Fouda adalah seorang penulis buruk, nekat dan sangat provokatif. Popularitas Fouda di mata Jamal, tidak lebih dari fenomena media (zhahirah i`lamiyyah) dan bukan didapat dari integritas keilmuannya. Karenanya, Jamal menyayangkan kesediaan sejumlah ulama besar Mesir untuk disandingkan dan meladeni perdebatan dengan Fouda, karena hasilnya hanya “membesarkan” nama Fouda. Terlebih dalam acara Pameran Buku Internasional Kairo tahun 1991 yang melibatkan Syaikh Muhammad al-Ghazali dan dihadiri oleh Mursyid al-Ikhwan al-Muslimun, Ma’mun al-Hudhaibi. Menurut Jamal, dalam adu wacana, Fouda sama sekali bukan tandingan Syaikh al-Ghazali. Tapi dari sudut yang berbeda, Fouda pun melenggang dengan mengibarkan panji kemenangan hanya karena telah berdebat dengan ulama sekaliber al-Ghazali. Buktinya jelas, hingga saat ini, setiap orang yang menyebut nama Farag Fouda maka akan selalu menyandingkannya dengan nama besar Syaikh al-Ghazali![11]

Klaim Kepakaran Fouda; Sebuah Blunder Intelektual
Farag Fouda menyatakan dirinya bukan seorang spesialis bidang sejarah, namun dalam pengakuan berikutnya, Fouda menempatkan kajiannya sejajar dengan karya seorang pakar yang layak diperhitungkan. Fouda mengaku “telah membaca sejarah secara tekun, menganalisisnya dengan cermat, mengeceknya dengan teliti, [dan mengkritisinya secara rasional][12]” (KYH, hal. 1).

Fouda juga mengaku, buah pikirannya tentang sejarah yang tertuang dalam karyanya itu, selalu dibingkainya dengan akal sehat, tanpa menggiring imajinasi atau khayalan subyektif yang dapat mendorong terjadinya penambahan atau pengurangan yang melampaui kebenaran sejarah (KYH, hal. 2)

Fouda menegaskan, Kebenaran yang Hilang ditulis “bukan untuk kepentingan propaganda, mengolok-olok ataupun mengejek, tetapi untuk kepentingan kecermatan dan ketelitian dalam mengungkap kebenaran sejarah” (KYH, hal. 2).

Kelemahan Metodologi
Itulah klaim Fouda. Tapi, jika ditelaah pada sumber-sumber yang dirujuknya, kenyataannya jauh panggang dari api. Kajian Fouda bukan hanya sering tidak obyektif, tidak komprehensif, dan tidak jujur. Tapi juga lemah dari segi metodologi. Untuk menentukan kekuatan suatu fakta, Fouda merasa cukup dengan hanya mengutip riwayat minor dari salah satu sumber rujukan, tanpa harus meneliti atau membandingkan dengan riwayat-riwayat lain yang dimuat dalam sumber yang sama, apatahlagi sumber lain.

Fouda menganggap metode tersebut benar dan cukup untuk mendukung sebuah fakta sejarah. Padahal jelas sekali, karya-karya sejarawan klasik seperti Tarikh al-Thabari tidak dapat diperlakukan dengan menggunakan metode seperti itu. Ironinya, dengan metodenya itu, Fouda menganggap dirinya telah berhasil menghadirkan versi kebenaran lain dari sejarah Islam yang tidak lazim dipahami kebanyakan umat Islam. Fouda sangat yakin dengan kebenaran metodenya itu, sehingga tidak mau digugat lawan-lawannya, “Tidak seorang pun berhak mengingkari referensi-referensi yang kita (baca: kami) rujuk. Semuanya adalah referensi yang juga digunakan oleh orang-orang yang merasa itu dipihak mereka” (KYH, hal. 4).

Di sinilah letak kelemahan kajian Fouda yang paling mendasar. Fouda mengutip sumber-sumber sejarah klasik secara sembarangan, sesuai dengan kemauannya. Riwayat-riwayat yang tidak jelas sumbernya, dia kutip sebagai rujukan cerita, dengan menafikan riwayat lain yang jelas dan kuat sumbernya. Cara-cara seperti ini memang biasa digunakan oleh kaum orientalis dalam menulis sejarah Islam. Sayangnya, kaum sekular-liberal, seperti Fouda, juga mengikuti jejak kaum orientalis dalam memberikan citra buruk tentang sejarah Islam.

Padahal, siapa pun yang meneliti buku-buku sejarah Islam klasik, akan menemukan banyak riwayat sejarah yang memang tidak jelas atau lemah sumbernya. Penulis buku sejarah klasik – seperti al-Thabari, Ibn Sa`ad, dan lain-lain – sengaja mencantumkan berbagai riwayat dan sekaligus menjelaskan sumber masing-masing riwayat (sanad) tersebut. Dengan itu, pembaca diharapkan dapat menilai mana riwayat yang kuat dan mana yang lemah. Riwayat-riwayat itu tidak jarang saling bertentangan dan mustahil dikompromikan. Sejarawan yang baik dan ikhlas akan dengan mudah memilihnya. Jadi, tidak semua cerita yang dimuat buku-buku tersebut dapat diterima “sebagai sejarah Islam, melainkan sebagai materi sejarah yang sangat kaya, yang harus dikaji (diseleksi) guna membangun konstruksi sejarah Islam”.[13]

Kelemahan metodologis lainnya yang juga sangat fatal adalah, Fouda sering tidak mencantumkan rujukan dari riwayat-riwayat yang dikutipnya. Buku KYH sendiri terdiri dari 191 halaman dan hanya mencantumkan 68 catatan kaki. Jumlah catatan kaki tersebut tentu terlalu kecil untuk sebuah buku yang banyak memuat data-data sejarah. Pada Bab Satu misalnya, Fouda hanya mencantumkan tiga catatan kaki saja. Padahal, belasan riwayat sejarah yang dikutipnya pada bab tersebut terkait masalah-masalah besar dan penting, seperti peristiwa Saqifah, bai`at Ali ra. kepada Abu Bakar ra., perang Jamal yang dianggap Fouda sebagai pembelotan kubu `Aisyah ra., keyakinan Fouda atas keterlibatan para sahabat utama dalam konspirasi pembunuhan Usman ra dan lain sebagainya.

Kondisi yang lebih parah terjadi pada Bab Dua; Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun. Fouda bukan hanya tidak banyak mencantumkan sumber riwayat yang dikutipnya, tapi juga membumbuinya dengan penafsiran-penafsiran yang semakin memperburuk gambaran hubungan antara para sahabat Nabi saw. Silakan simak cara pengutipan dan penafsiran Fouda berikut ini,

”Kepada Ali, Abdur Rahman bin Auf, misalnya menyerukan: ’Kalau engkau berkenan, silakan angkat senjata. Akupun akan angkat senjata. Ia (Usman) telah mengambil kembali apa yang telah ia berikan kepadaku’. Lantas Auf berkata kepada para sahabatnya, dalam keadaan sakit yang pada akhirnya menyebabkan kematiannya: ’Bersegeralah kalian (untuk memberontak terhadap kekuasaan Usman) sebelum kekuasaannya itu yang akan melindas kaian!’. Thalhah juga memprovokasi para pemberontak, sampai-sampai Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali membuka akses Baitul Mal, lalu membagi-bagikannya kepada mereka sampai terjadi pertengkaran karena itu. Tetapi, saat itu Usman justru membenarkan tindakan Ali. Dan benar saja, tidak perlu menunggu sampai berbulan-bulan lamanya, Usman pun terbunuh. Anehnya, Thalhah kemudian justru tampil sebagai orang yang menuntut balas atas kematian Usman dalam kelompok tentara Aisyah…” (KYH, hal. 46).

Kisah di atas jelas-jelas menyebut keterlibatan langsung Abdurrahman ibn `Auf dan Thalhah ibn `Ubaidillah, dua sahabat utama yang tergolong anggota Dewan Syura Khalifah, dalam konspirasi yang mengakibatkan terbunuhnya Usman ra. Kisah Thalhah ra. sama sekali tidak disebutkan sumbernya. Sedangkan kisah Abdurrahman ibn `Auf dikutip Fouda dari buku al-Fitnah al-Kubra, karya sastrawan sekuler kenamaan, Thaha Husain.[14]

Rujukan masalah segenting itu semestinya tidak dapat diandalkan dari tulisan Thaha Husain yang selain seorang sastrawan, dia baru meninggal beberapa puluh tahun lalu. Malangnya, dalam buku al-Fitnah al-Kubra, Thaha Husain juga tidak mencantumkan sumber asli kisah Abdurrahman ra. tersebut, melainkan hanya mengatakan, ”Ruwiya” yang berarti ”Disebutkan/Diriwayatkan”.[15] Cara pengutipan riwayat seperti ini banyak ditemukan dalam buku KYH. Sebagai kajian sejarah, apalagi tentang isu-isu besar yang menyangkut generasi sahabat Nabi saw., seharusnya bukan sekadar mencantumkan sumber yang jelas, melainkan harus melakukan verifikasi yang lebih teliti, tapi Fouda tidak melakukannya.

Kajian Fouda tidak Obyektif, Autentik, Apalagi Komprehensif!


Bukti kelemahan metodologi kajian Fouda cukup banyak dan mudah ditemukan dalam bukunya. Sejumlah permasalahan yang akan diangkat berikut ini juga turut membuktikannya. Tampaknya, masalah pembunuhan Usman ra. menjadi dasar argumentasi Fouda untuk mendukung doktrin sekuler-liberalnya yang memasung agama dalam ruang pribadi dan mengharamkannya masuk ruang publik, apalagi politik. Bagi Fouda, pembunuhan Usman ra. adalah fakta, bahwa keberadaan pemimpin yang saleh, rakyat yang juga saleh dan syari`at Islam diterapkan tidak serta merta menjamin melahirkan kebaikan (KYH, hal.28). Karenanya, Fouda membuat kesimpulan yang sangat berani, bahwa sejak awal Islam tidak mempunyai sistem ketatanegaraan (nizham al-hukm) dan ”Islam hanya memerintah tidak lebih dari seperempat abad atau malah kurang”. (KYH, hal. 79).

Dengan kesimpulan ini, Fouda ingin mengatakan bahwa dinasti-dinasti yang memerintah sepanjang sejarah Islam sama sekali tidak menjadikan Islam sebagai landasan politik dan pemerintahan mereka. Pemerintahan Islam hanya diimplementasikan dalam rentang masa al-Khulafa’ al-Rasyidun yang sangat pendek, yaitu kurang dari 25 tahun saja. Itupun tidak ideal. Faktanya, Usman dibunuh oleh rakyatnya sendiri dan Ali harus menjalankan pemerintahan dengan penuh gejolak akibat pembunhan tragis tersebut.

Memang, Fouda adalah pemuja fakta sejarah dan logika, ”Argumen saya dalam hal ini sepenuhnya logika. Alasan saya adalah fakta-fakta sejarah. [Tidak ada argumen yang sehebat logika dan tidak ada alasan yang sekuat fakta-fakta sejarah. Fakta-fakta sejarah yang akan saya kemukakan dikutip dari] periode Islam paling cemerlang, sekalipun dalam soal penerapan akidah dan iman, yaitu periode al-Khulafa’ al-Rasyidun” (KYH, hal. 22).

Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah, benarkah yang dipaparkan Fouda adalah fakta sejarah? Bagaimana keaslian dan kekuatannya? Dari sedikit yang telah dijelaskan di atas saja, terbukti metode Fouda rancu dan sangat lemah dalam mengungkapkan fakta. Penjelasan berikut ini akan semakin menguatkan bukti kesalahan dan kelemahan –yang diklaim Fouda sebagai– fakta-fakta sejarah.



Para Sahbat Nabi saw. Terlibat Konspirasi Pembunuhan Usman ra?

Kisah pembunuhan Usman ra. dicitrakan sangat buruk sekali oleh Fouda. Usman ra. digambarkan sebagai sosok sangat zalim sehingga menyulut kemarahan seluruh rakyatnya, termasuk tokoh-tokoh utama sahabat Nabi saw. Alhasil, menurut Fouda, sahabat-sahabat yang saleh tersebut terlibat langsung atau mendukung pembunuhan terhadap Usman ra.,

”Namun Usman membawa umat Islam ke dalam polemik tentang sosok dirinya. Para pemimpin di dalam Ahl al-Hall wa al-’Aqdi membuat konsensus untuk melarikan diri dari kepemimpinannya, baik lewat cara pemecatan menurut kalangan ahli pikirnya, maupun kekerasan menurut kalangan garis kerasnya. Wibawanya terguncang di mata rakyat, sampai sebagian masyarakatnya menghunus pedang yang siap mencincangnya dan menohoknya ketika berada di atas mimbar. Bahkan sebagian menghinanya dengan sebutan Na’tsal, sebutan untuk orang Kristen Madinah bernama Na’tsal yang kebetulan berjenggot lebat seperti Usman. Para pemuka sahabat pun menentangnya, ini adalah sesuatu yang sangat terang benderang menunjukkan bahwa ia keluar dari ketentuan al-Quran dan Sunnah. Karena itu, muncul seruan secara terang-terangan untuk membunuhnya. Hadits Aisyah meriwayatkan: “Bunuhlah Na`tsal, dan terlaknatlah Na`tsal.” (KYH, hal. 25).

Riwayat `Aisyah ini adalah versi terjemah bahasa Indonesia. Dalam edisi bahasa aslinya, ditulis oleh Fouda, “Haytsu yurwa ‘an `Aisyah qauluha uqtulu Na’tsalan wa la’anallaahu Na’tsalan.” Jadi, menurut Fouda, Aisyah sendiri yang mengutuk Utsman dan memerintahkan pembunuhan terhadap Usman. Dengan cara seperti itu, Fouda sedang menggiring pembaca pada sebuah kesimpulan bahwa pembunuhan Usman sudah selayaknya terjadi. Menurut Fouda, peristiwa tersebut melibatkan atau setidaknya mendapat dukungan dari para pemuka Sahabat, seperti Ali, Zubair, Thalhah, Sa`id bin Zaid, Ibn Umar, Ibn Abbas dan lain-lain, yang tergabung dalam Ahl al-Hall wa al-`Aqd. Padahal, faktanya, sama sekali tidak seperti itu. Para sahabat itu sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan Usman.

Sayangnya, baik di sini maupun di tempat lain, Fouda tidak menyebut data yang lebih spesifik dan rujukan yang dapat diukur kebenarannya. Sedangkan seruan membunuh Usman yang diriwayatkan `Aisyah, dikutip Fouda dari dua penulis kontemporer, Abbas al-`Aqqad dan Ahmad Amin, sehingga sulit ditelusuri siapa yang menyuarakan seruan itu sebenarnya. Padahal, `Aisyah ra. sendiri, seperti diriwayatkan Bukhari dalam al-Tarikh al-Kabir dengan sanad yang baik, mengutuk pembunuh Usman, “Usman dibunuh secara zalim. Terkutuklah pembunuhnya”.[16] Sejarah kemudian juga mencatat, bahwa Aisyah ra. justru sangat gigih dalam menuntut diadilinya para pembunuh Usman.

Dengan metode penyajian data yang sangat lemah, Fouda begitu cepat mengambil kesimpulan yang meyakinkan, bahwa para sahabat Nabi saw. terlibat pembunuhan terhadap Usman ra. Padahal jika mau sedikit bersusah payah, Fouda tidak akan sulit mendapatkan sejumlah kajian kontemporer yang telah lebih dulu membahas masalah ini dengan sangat cermat dan komprehensif.

Sebagai contoh adalah karya DR. Muhammad Amahzun yang berjudul Tahqiq Mawaqif al-Shahabah fi al-Fitnah min Riwayat al-Imam al-Thabari wa al-Muhadditsin[17] (Penilitian terhadap Sikap para Sahabat tentang Fitnah menurut Riwayat-riwayat Imam al-Thabari dan Ahli Hadits). Dalam buku yang berasal dari disertasi doktor di Universitas Muhammad I Maroko ini, Amahzun melakukan penelitian terhadap sikap para sahabat Nabi saw. semasa pengepungan Usman ra. dan setelah pembunuhannya dalam 28 halaman.

Menurut Amahzun, riwayat-riwayat yang menyebut keterlibatan sahabat dalam pembunuhan Usman ra. berasal dari sumber-sumber yang lemah atau sangat lemah. Abu Mikhnaf, al-Waqidi dan Ibn A`tsam, serta beberapa sejarawan Akhbari lainnya, adalah sumber utama riwayat-riwayat tersebut. Abu Mikhnaf, sebagaimana dijelaskan di atas, adalah seorang sejarawan tendensius dan penganut Syi`ah yang sangat fanatik, sehingga mudah dipahami mengapa dia begitu gencar melontarkan hujatan dan tudingan tidak berdasar kepada sosok Usman ibn Affan ra.[18]

Ada juga beberapa riwayat yang bila dilihat sekilas tampak kuat karena beberapa perawinya sangat terpercaya di kalangan ahli hadits, seperti al-Zuhri dan Sa`id ibn al-Musayyib. Dari riwayat mereka tersebut dapat disimpulkan bahwa al-Zubair ibn al-`Awwam, Abu Dzar al-Ghifari, Ibn Mas`ud, `Ammar ibn Yasir dan sejumlah sahabat lainnya terlibat dalam konspirasi pembunuhan Usman ra. dan para pemberontak yang mengepung Usman ra. adalah pihak yang benar, sedangkan Usman ra. adalah pendosa yang harus melakukan taubat secara terbuka.

Jika diteliti lebih jauh, sebenarnya riwayat-riwayat tersebut bermasalah. Salah seorang perawi pada sanad yang sampai kepada al-Zuhri, yaitu Umar ibn Hammad adalah seorang penganut Rafidhah (Syi`ah ekstrim). Dia juga suka melontarkan tuduhan kepada Usman ra. dan menyampaikan riwayat-riwayat munkar.[19] Sedangkan pada sanad riwayat Ibn al-Musayyib terdapat perawi yang sengaja disembunyikan (tadlis), yaitu Isma`il ibn Yahya ibn `Ubaidillah. Perawi ini diduga kuat memalsukan hadits dan berbohong. Karenanya, ulama-ulama hadits seperti Bukhari, Ibn Hibban dan Hakim menilai riwayat Isma`il ibn Yahya ini lemah.[20]

Terlepas dari lemahnya riwayat-riwayat yang menyebut keterlibatan para sahabat dalam pembunuhan Usman ra., justru banyak sekali riwayat-riwayat yang kuat dan lebih teruji yang menyatakan sebaliknya. Riwayat-riwayat ini tidak hanya berasal dari sumber-sumber Akhbari, melainkan juga ahli hadits seperti Imam Ahmad, Bukhari, Ibn `Asakir, Ibn Abi Syaibah, al-Darquthni, Ibn Hajar, al-Haitsami dan lain-lain. Bahkan, Ibn `Asakir melakukan penilitian khusus dengan menghimpun seluruh sumber riwayat yang menyatakan bebasnya Ali ra. dari keterlibatan dalam pembunuhan terhadap Usman ra. Hasilnya, Ali ra. bersumpah berkali-kali dalam berbagai pidato yang disampaikannya, bahwa dirinya tidak membunuh Usman ra. ataupun menyetujuinya.[21]

Tidak hanya Ali ra., riwayat-riwayat tersebut juga menjelaskan sikap sahabat-sahabat lain yang membuktikan mereka sama sekali tidak terlibat, bahkan justru sebaliknya, turut membela dan menawarkan bantuan kepada Usman ra. Di antara para sahbat tersebut adalah Thalhah ibn `Ubaidillah, `Aisyah, al-Zubair ibn al-`Awwam, Sa`ad ibn Abi Waqqash, Sa`id ibn Zaid, Hudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Ummu Sulaim, Abu Hurairah, Abu Bakrah, Abu Musa al-Asy`ari, Samurah ibn Jundub, `Ammar ibn Yasir, Ibn Mas`ud, `Amr ibn al-`Ash, Usamah ibn Zaid, Haritsah ibn Nu`man, Abdullah ibn Salam, Abdullah ibn Umar, Ibn Abbas, al-Hasan ibn Ali, Abu Humaid al-Sa`idi, Salamah ibn al-Akwa`, Ka`ab ibn Malik dan Hassan ibn Tsabit dan lain-lain.[22]

DR. Muhammad Amahzun bukan orang pertama dan satu-satunya yang melakukan kajian mendalam tentang masalah ini. Sejumlah ulama telah lebih dulu melakukannya, sebut saja Abu Bakr ibn al-`Arabi (w.543H) dalam karyanya, al-`Awashim min al-Qawashim, dan `Abd al-Halim Ibn Taimiyah (w.728H) dalam beberapa karya monumentalnya, terutama Minhaj al-Sunnah. Karya-karya yang menaruh perhatian serupa kini terus bermunculan, seperti Daur al-Mar’ah al-Siyasi fi `Ahd al-Nabi saw. wa al-Khulafa’ al-Rayidin[23] (2001), karya Asma’ Muhammad Ziyadah. Tesis master di Dar al-`Ulum-Cairo University ini lebih banyak membahas peran politik `Aisyah ra., terutama selama masa fitnah yang membawanya kepada Perang Jamal. Karya lain yang tidak boleh luput tentunya adalah `Ashr al-Khilafah al-Rasyidah; Muhawalah li Naqd al-Riwayah al-Tarikhiyah wafq Manahij al-Muhadditsin (1995), karya Prof. DR. Akram al-Umari. Seperti tertera pada judulnya, karya Prof. al-Umari ini merupakan sebuah upaya penerapan metode kritik ahli hadits pada riwayat-riwayat sejarah.

Prof. DR. Akram al-Umari dapat dianggap sebagai ahli sejarah masa kini yang paling gigih berupaya melakukan kajian-kajian mendalam terhadap riwayat-riwayat sejarah Islam klasik. Pengalamannya mengajar materi sejarah Islam di Universitas Baghdad dan Universitas Islam Madinah selama lebih dari tiga puluh tahun, telah menghasilkan puluhan tesis master dan disertasi tentang kajian sejarah Islam dari sejumlah mashasiswa pasca sarjana yang dibimbingnya. Beberapa di antaranya mengkaji secara spesifik riwayat-riwayat yang terkait dengan tragedi pembunuhan Usman ra. dan fitnah besar yang ditimbulkannya, misalnya Fitnat Maqtal Utsman ibn Affan, karya Muhammad Abdullah al-Ghabban, Khilafat Utsman ibn Affan, karya Muhammad al-`Awaji, dan Marwiyyat Abi Mikhnaf fi Tarikh al-Thabari, karya Yahya al-Yahya.

Dengan tersedianya begitu banyak karya yang telah meneliti masalah seputar pembunuhan Usman ra. dan sikap para sahabat terhadapnya, seharusnya tidak terlalu sulit bagi Farag Fouda untuk menyajikan fakta-fakta yang kuat dan menghindari riwayat-riwayat yang jelas terbukti lemah. Dengan begitu, Fouda tidak mudah membuat penafsiran dan kesimpulan yang akibatnya malah menghilangkan kebenaran, seperti berikut,



”Ia (Usman) terbunuh oleh tangan umat Islam sendiri yang bersepakat memberontak dan mengepung rumahnya. Dan anda dapat saja membayangkan bahwa kematian Usman telah melegakan hati sebagian umat Islam. Bahkan, permusuhan sebagian umat Islam atas dirinya berlangsung setelah kematiannya….” (KYH, hal. 25)

Usman ra. Dimakamkan di Pekuburan Yahudi?

Kelemahan Fouda juga terlihat saat mengutip salah satu riwayat al-Thabari tentang prosesi pemakaman Usman dan menerimanya bulat-bulat sebagai fakta yang benar. Riwayat yang termuat dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk itu menyebutkan,

“Mayat Usman harus bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan. Ia ditandu empat orang, yaitu Hakim bin Hizam, Jubair bin Math`am, Niyar bin Makram dan Abu Jahm bin Huzaifah. Ketika ia disemayamkan untuk dishalatkan, datanglah sekelompok orang Anshar yang melarang mereka untuk menyalatkannya. Di situ ada Aslam bin Aus bin Bajrah as-Saidi dan Abu Hayyah al-Mazini. Mereka juga melarangnya untuk dimakamkan di pekuburan Baqi`. Abu Jaham lalu berkata, ‘Makamkanlah ia karena Rasulullah dan para malaikat telah bershalawat atasnya’. Akan tetapi, mereka menolak, ‘Tidak, ia selamanya tidak akan dimakamkan di pekuburan orang Islam. Lalu mereka memakamkannya di Hisy Kaukab (sebuah areal pekuburan Yahudi). Baru tatkala Bani Umayyah berkuasa, mereka memasukkan areal pemakaman Yahudi itu ke dalam kompleks Baqi`” (KYH, hal. 26).

Berdasarkan riwayat ini dan lainnya, lalu Fouda menarik beberapa kesimpulan; 1). Jenazah Usman tidak dapat dimakamkan sampai dua malam; 2). Sebagian muslim menolak untuk menyalatkannya; 3). Jenazahnya dilempari batu, diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan; 4). Usman dimakamkan di pekuburan Yahudi. (KYH, hal. 26-27).

Bagi sebagian orang, “fakta-fakta” semacam itu tentu mencengangkan. Seolah-olah itu hal baru yang selama ini disembunyikan para sejarawan Muslim. Bagaimana tidak, Usman bin Affan; sahabat dan menantu Rasulullah saw., khalifah ketiga, si pemalu yang membuat malaikat pun malu kepadanya, penyedia air bersih di Madinah, penyebab Bai`at al-Ridhwan di Hudaibiyah, peraih jaminan masuk surga dan sederet predikat baik lainnya, diperlakukan setragis itu di akhir hayatnya?!

Tapi, sebagian orang di Indonesia justru bersorak gembira menerima cerita sumir dari Fouda tentang Usman r.a. Itulah yang kemudian dilakukan oleh Goenawan Muhamad, Samsu Rizal Panggabean, Prof. Dr. Azumardi Azra dan Prof. Dr. Syafii Maarif. Ironisnya, dua nama terakhir itu justru dikenal sebagai guru besar ilmu sejarah. Mereka memuji-muji buku Fouda. Padahal, tanpa harus menjadi profesor sejarah, seorang dengan mudah dapat melihat kelicikan Fouda dalam menipulasi data sejarah. Cukup melacak kitab sejarah yang ditulis al-Thabari dalam subjudul, Dzikr al-Khabar `an al-Mawdhi` al-Ladzi Dufina fihi `Utsman…[24] Buku inilah yang dirujuk dengan tidak cermat oleh Fouda. Simaklah fakta-fakta yang tersaji dalam Kitab al-Thabari tersebut,



1. Terkait masalah prosesi pemakaman Usman, al-Thabari sebenarnya menyebut 9 riwayat dari 4 sumber, dengan urutan seperti berikut; Ja`far bin Abdullah al-Muhammadi (2 riwayat), al-Waqidi (4 riwayat), Ibn Sa`ad (1 riwayat), dan Saif bin Umar (2 riwayat). Riwayat yang dikutip Fouda di atas adalah riwayat ketiga al-Waqidi.

2. Redaksi riwayat-riwayat tersebut berbeda-beda dan banyak yang kontradiktif;

a. Kapan Usman dimakamkan? Usman dibunuh pada hari Jum`at pagi. Sedangkan pemakamannya, menurut riwayat al-Muhammadi: setelah tiga hari; riwayat kedua al-Waqidi: malam itu juga; dan riwayat pertama Saif: malam itu juga.

b. Siapa yang menshalatkan jenazah Usman? Menurut riwayat pertama al-Waqidi: Jubair bin Muth`im, Hakim bin Hizam, dan 12 orang lainnya; riwayat kedua al-Waqidi: Jubair bin Muth`im, Huwaithib bin `Abd al-`Uzza, Abu Jahm bin Hudzaifah, Hakim bin Hizam, dan Niyar al-Aslami; riwayat pertama Saif: Marwan bin al-Hakam, Zaid bin Tsabit, Thalhah bin `Ubaidillah, Ali, al-Hasan bin Ali, Ka`ab bin Malik, dan sejumlah sahabat lainnya; dan riwayat kedua Saif: Marwan bin al-Hakam.

c. Di mana jenazah Usman dimakamkan? Menurut riwayat pertama al-Muhammadi: Hasy Kaukab; riwayat kedua al-Muhammadi: sebuah kebun di luar (Baqi`); riwayat pertama al-Waqidi: Baqi`; riwayat kedua al-Waqidi: perkebunan dekat Baqi`; riwayat keempat al-Waqidi: Baqi`; riwayat Ibn Sa`ad: Hasy Kaukab; dan riwayat pertama Saif: areal Baqi` yang berdampingan dengan Hasy Kaukab.

Melihat perbedaan redaksi yang begitu mencolok, tampak kelicikan Fouda ketika mencatut riwayat ketiga al-Waqidi untuk mendukung argumentasinya. Pengutipan riwayat tersebut menunjukkan bahwa Fouda tidak cermat dan tidak komprehensif dalam mengutip riwayat, karena hanya mengambil satu riwayat yang lemah sumbernya. Semua riwayat itu adalah lemah, dan anehnya Fouda sengaja mengambil satu saja riwayat yang lemah. Itupun baru seputar riwayat-riwayat al-Thabari. Lantas bagaimana jika dibandingkan dengan riwayat-riwayat kitab lain, misalnya al-Thabaqat al-Kubra, karya Ibn Sa’ad. Dalam kitab ini, Ibn Sa`ad menyebut beberapa riwayat dari `Amr bin Abdullah dan al-Waqidi yang jelas-jelas menyatakan Usman dimakamkan langsung pada malam harinya di Baqi`.[25] Jadi, dengan hanya menyebut satu riwayat yang lemah, Fouda jelas-jelas melakukan upaya menipulasi data sejarah dengan membuat kesan seolah-olah hanya ada riwayat itu saja

Fouda Memanipulasi Data!

Keterangan tentang Hasy Kaukab sebagai areal pekuburan Yahudi dalam buku Fouda (hal. 26), menjadi titik paling krusial di sini. Keterangan tersebut tidak tercantum dalam redaksi riwayat al-Waqidi yang dikutip Fouda. Bahkan juga tidak terdapat dalam riwayat-riwayat lain yang disebut al-Thabari. Di sini Fouda telah melakukan kecurangan! Dan, akibatnya sangat fatal bagi siapa pun yang membaca bukunya, karena akan membayangkan, bahwa Usman r.a. dimakamkan bukan di pemakaman Islam, tetapi di pemakaman Yahudi. Inilah salah satu fitnah dan kejahatan besar yang dilakukan Fouda dalam melecehkan menantu Rasulullah dan salah satu sahabat Nabi terkemuka. Aneh, jika kejahatan Fouda seperti ini justru didukung dan dibanggakan oleh para sejarawan di Indonesia seperti Azyumardi Azra dan Syafii Maarif.

Kasus pembunuhan Usman sebenarnya telah ditelaah secara mendalam dalam tesis master Muhammad al-Ghabban di Universitas Islam Madinah dengan judul Fitnat Maqtal `Utsman. Dalam tesisnya, al-Ghabban meneliti dengan cermat semua riwayat tentang prosesi pemakaman dan penyalatan Usman. Kesimpulannya, tidak ada satu pun riwayat yang benar-benar shahih, tetapi semuanya lemah. Hanya saja, ada sebagian yang saling menguatkan. Di antaranya, jenazah Usman dishalatkan dan dimakamkan di Hasy Kaukab, sebuah kebun dekat Baqi` yang kemudian dimasukkan ke dalam areal Baqi`[26]. Jadi, sebenarnya, riwayat yang menyatakan bahwa Usman dimakamkan di pemakaman Yahudi, sama sekali tidak ada, dan itu adalah fantasi Fouda sendiri.

Fouda juga melakukan pencitraan terhadap Usman yang sangat buruk, seperti penyalahgunaan kekuasaan, nepotisme, penyelewengan keuangan negara, penyuapan sahabat-sahabat senior dan lainnya. Ironinya, Fouda juga menggambarkan sahabat-sahabat yang menerima suap sama “bejatnya” dengan Usman. Inilah contoh lain kecurangan Fouda:

“Bingkisan-bingkisan yang diberikan Usman itu sesungguhnya tidaklah kecil dan terbatas. Al-Zubair diberi uang sebanyak 60 ribu dirham. Thalhah mendapat 100 ribu. Usman mungkin juga sedang memikat hati mereka karena kebijakan-kebijakannya tak jarang bertentangan dengan apa yang para sahabat itu pikirkan. Ia mungkin sudah merasa bahwa ia telah mengambil pelbagai kebijakan yang tidak mesti diterima oleh para sahabat. Karena itu, adalah penting baginya untuk mengangkat harkat dan martabat mereka. Dengan begitu mereka diharapkan untuk tidak melakukan revolusi atau sekadar marah” (KYH, hal. 64).
Fouda sama sekali tidak menyebut nama sahabat yang menolak kebijakan Usman sesuai interpretasinya itu. Malah sebaliknya, sahabat-sahabat senior digambarkan ikut hanyut dalam gaya hidup mewah dan bergelimang harta. Untuk memperkuat argumentasinya, Fouda mengandalkan riwayat-riwayat Ibn Sa`ad dalam al-Thabaqat al-Kubra yang memerinci kekayaan mereka. Misalnya Usman, setelah terbunuh ia meninggalkan 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar. Kekayaannya yang lain berupa 1000 ekor unta dan sejumlah pemberian sedekah sekitar 200.000 dinar untuk Baradis, Khaibar dan Wadi al-Qura. Sedangkan peninggalan al-Zubair berjumlah sekitar 51 atau 52 juta dirham. Di Mesir, Aleksandria dan Kufah, ia juga punya beberapa armada laut. Di Basrah, ia punya angkutan darat dan hasil panen yang dipersembahkan kepadanya oleh penduduk setempat (KYH, hal. 65).

Itulah cara Fouda dalam membuat citra buruk terhadap Usman. Padahal, sebenarnya, dalam riwayat tersebut Ibn Sa`ad hanya mengungkap data kekayaan peninggalan Usman, tanpa menerangkan darimana sumber dan bagaimana penggunaannya. Tapi di sinilah interpretasi subyektif Fouda bermain, jumlah yang begitu besar itu langsung dikonotasikan negatif.

Baiklah, misalkan dengan asumsi riwayat tersebut valid, seharusnya jumlah sebesar itu pun tidaklah mengejutkan. Usman adalah seorang pebisnis sukses sejak sebelum masuk Islam dan tetap menjalankan bisnisnya hingga setelah menjadi Khalifah. Sejumlah riwayat yang dituturkan Ibn Hajar memberi gambaran kekayaan Usman. Di antaranya, pada permulaan masa hijrah, kaum muslim di Madinah kesulitan mendapat air bersih. Selain hanya mata air Rumah yang tersedia dan itupun harus dibeli. Usman membeli sumur itu dan mewakafkannya untuk umat Islam. Lain lagi dengan rencana perluasan masjid Nabawi di masa Nabi saw. Mengingat kas negara tidak cukup, Rasulullah saw mengumumkan pengumpulan dana. Maka Usman segera membeli tanah untuk perluasan tersebut seharga 25.000 dirham. Ketika Nabi saw menghimpun dana guna membiayai perang Tabuk yang terjadi di masa paceklik, Usman mendermakan 1000 dinar,[27] 940 ekor unta dan 60 ekor kuda[28].

Seiring dengan geliat kemajuan ekonomi di masa Umar, bisnis Usman semakin berkembang dan asetnya bertambah besar, jauh di atas rata-rata kaum muslim lainnya. Riwayat al-Bukhari (no. hadits: 3059) menggambarkan, ketika kekayaan negara berupa hewan ternak semakin banyak, Umar terpaksa membuat lahan konservasi eksklusif (al-Hima). Umar berkata kepada pegawainya, “Izinkan para pemilik ternak untuk menggembala di al-Hima, tapi jangan sekali-kali mengizinkan [Abdurrahman] bin Auf dan [Usman] bin Affan. Karena jika seluruh ternak mereka berdua binasa, mereka masih punya kebun dan ladang”. Al-Bukhari juga meriwayatkan (no. hadits: 2116) Usman melakukan jual beli tanah dengan Abdullah bin Umar, setelah menjadi Khalifah.

Jadi, Usman memang sangat kaya, karena memang seorang saudagar yang sukses. Tapi, lagi-lagi, Fouda kembali melakukan kesalahan fatal ketika mengaudit harta peninggalan al-Zubair. Kebiasaannya mencomot satu riwayat secara acak membuatnya begitu enteng melewatkan riwayat Ibn Sa`ad sebelumnya. Kesalahan inilah yang mendorongnya kepada kesimpulan bahwa 51 atau 52 juta adalah jumlah keseluruhan nilai harta yang ditinggalkan al-Zubair.

Dalam riwayat yang luput dari perhatian Fouda itu dijelaskan, ketika meninggal, al-Zubair tidak meninggalkan warisan berupa uang sepeser pun, melainkan tanah yang meliputi hutan dan sejumlah rumah di beberapa tempat. Malangnya, al-Zubair meninggalkan utang dalam jumlah sangat besar, yaitu 2.200.000 dirham. Selain al-Zubair, beberapa kerabatnya juga pesimis seluruh harta warisannya dapat menutupi utang tersebut. Abdullah, putra al-Zubair cukup cerdik, tanah dan kekayaan ayahnya tersebut dijual sedikit demi sedikit dengan harga yang cukup fantastis. Setelah seluruh utang mendiang ayahnya dilunasi, Abdullah tidak segera membagikan sisanya kepada ahli waris, melainkan menunggu empat tahun sampai semua orang yang memiliki piutang dapat dilunasi. Tampaknya selama masa itu, Abdullah menginvestasikan harta waris tersebut sehingga jumlahnya bertambah banyak, yakni 53 juta dirham[29]. Dengan data-data seperti ini, pantaskah seorang Fouda dibanggakan sebagai penulis sejarah yang objektif dan ilmiah?

Kesalahan penerjemah lagi-lagi memperkeruh masalah. Kekayaan al-Zubair di Mesir, Aleksandria, Kufah dan Basrah yang dalam teks asli riwayat Ibn Sa`ad disebut Khithath dan Dur disalah-artikan menjadi armada laut dan angkutan darat! Padahal arti semestinya adalah beberapa bidang tanah dan beberapa rumah.

Istilah khithath juga dikenal dengan `Aqtha`, yang berarti tanah tidak produktif yang diberikan pemerintah kepada orang-orang tertentu guna dikelola dengan syarat-syarat tertentu pula. Sistem pemberian ini disebut al-Iqtha`. Menurut Prof. Dr. Akram al-Umari, sistem Iqtha` sudah diterapkan sejak masa Rasulullah saw dan terus berkembang pesat. Tujuannya sangat jelas, mengubah lahan tidak produktif menjadi lahan produktif yang berpotensi meningkatkan sumber devisa negara. Dalam hal ini, pemerintah harus menunjuk orang-orang yang mumpuni dan profesional. Syarat pemberian Iqtha` juga sangat ketat. Jika orang yang diserahi Iqtha` tidak sukses mengelolanya dalam tiga tahun, maka hak kepemilikannya dicabut kembali.

Di masa Umar ra., al-Zubair ra. dan Ali ra. termasuk yang ditunjuk untuk mengelola tanah Iqtha`. Di masa Usman, perkembangan `Iqtha` mencapai puncaknya, setidaknya 18 orang tercatat ditunjuk Khalifah untuk mengelolanya, termasuk al-Zubair, Sa`ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah. Hasilnya sangat menakjubkan, jika di masa Umar negara menerima devisa dari `Iqtha` sebanyak 9000 dirham pertahun, di masa Usman terjadi kenaikan sangat fantastis, yaitu menjadi 50.000.000 dirham pertahun. [30] Sebuah bukti kesuksesan kebijakan ekonomi Usman ra. yang sering dilupakan oleh orang seperti Fouda.

Dengan perkembangan ekonomi dan tingkat kesejahteraan rakyat yang begitu tinggi di masa Usman ra., angka-angka peninggalan kekayaan para sahabat tersebut seharusnya tidak menjadi bahan pertanyaan yang berlebihan. Apalagi jika diteliti lebih jauh, bagaimana gaya hidup dan cara mereka menggunakan kekayaan sehari-harinya. Tentu kita akan berdecak kagum dengan implementasi nyata “sebaik-baiknya harta yang baik adalah jika berada di tangan orang yang baik”. Barangkali, sebenarnya masalah ini lebih sederhana, seperti dikatakan Fouda sendiri, “Melontarkan tuduhan memang jauh lebih gampang daripada menggunakan akal pikiran untuk suatu pembahasan” (KYH, hal. 6).

Kesalahan Terjemah; Penyedap Tambahan Buku Fouda


Terlepas dari kecurangan Fouda, kesalahan cukup fatal juga dilakukan penerjemah. Misalnya, ditulis, “Umair bin Dzabi`i datang meludahinya, lalu ia mematahkan salah satu persendiannya” (KYH, hal. 26). Kalimat fa naza `alaih seharusnya diartikan melompat atau menyergap kearahnya, bukan datang meludahinya. Sedangkan kasara dhil`an seharusnya diartikan mematahkan salah satu tulang rusuk, bukan persendian.

Kesalahan berikutnya lebih fatal lagi, karena mengandung implikasi hukum yang sangat mendasar. Untuk lebih jelasnya, simak teks Arab buku Fouda dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia berikut ini,

فإن بعضا من كبار الصالحين مثل واصل بن عطاء، فقيه المعتزلة وإمامهم، وعمرو بن عبيد، الزاهد الورع، الذي وصفه الخليفة المنصور بقوله الشهير (كلكم يطلب صيد. غير عمرو بن عبيد)، كانا أجرأ منا حين أطلقا لقولهما العنان، وهما من هما، تدينا وفقها وعلما، فأنكرا فعل الفريقين في أصحاب الجمل، وأصحاب الصفين، وذكرا أنه “لا تجوز قبول شهادة علي وطلحة والزبير على باقة بقل (كل نبات اخضرت له الأرض)”،[31]

“Dan perhatikanlah sekarang, betapa beraninya para sahabat yang terkemuka dalam menggunakan kebebasan akalnya dalam berpendapat. Misalnya, Washil bin Atha’, ahli fikih Muktazilah dan imam besarnya, serta Amru bin `Ubaid, seorang yang asketis dan sangat wara yang pernah dipuji Khalifah al-Manshur sebagai orang yang tidak pernah mencari keuntungan pribadi dibandingkan orang lain. Mereka berdua bahkan berani mengatakan bahwa dalam kasus Perang Unta, dan juga Perang Shiffin, “Syahadat Ali, Thalhah dan al-Zubair tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi”. (KYH, hal. 51).



Penerjemah tampaknya tidak berhati-hati ketika menerjemahkan kaimat “fa inna ba`dhan min kibar al-shalihin” menjadi, para sahabat terkemuka. Padahal seharusnya, sesungguhnya beberapa tokoh saleh terkemuka. Akibat kesalahan ini sangat fatal, karena menempatkan Washil ibn `Atha’ dan `Amr ibn `Ubaid, dua tokoh aliran Mu`tazilah, sebagai sahabat Nabi saw. Apalagi pada ujung paragraf disebutkan, bahwa kedua tokoh Mu`tazilah yang menyalahkan semua kubu yang terlibat Perang Unta dan Perang Shiffin itu mengeluarkan pernyataan, “Syahadat Ali, Thalhah, dan al-Zubair tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi”.

Kesalahan yang sangat fatal! Karena pembaca akan menyimpulkan bahwa para sahabat terkemuka memandang syahadat semua orang yang terlibat perang tersebut, termasuk Ali, Thalhah dan al-Zubair tidak lagi legitimate, alias kafir! Padahal maksud kalimat, “laa tajuzu qabul syahadat `Ali, wa Thahlah, wa al-Zubair, `ala baqat al-baql”, adalah, “Kesaksian Ali, Thalhah, dan al-Zubair tidak lagi dapat diterima, sekalipun dalam perkara yang amat kecil” (menurut tokoh mu'tazillah tadi) "perkataan tokoh mu'tazilah ini sangatlah tidak benar karena semua shahabat adalah terpercaya". Jadi, arti syahadat di sini adalah kesaksian dalam peradilan, bukan syahadat yang merupakan syarat masuk Islam!

Penutup

Sekelumit uraian di atas hanyalah contoh kecil dari lemahnya metodologi, minimnya kapasitas keilmuan dan rendahnya amanah intelektual yang terpampang jelas dalam buku Fouda. Namun bagi Prof. Dr. Azyumardi Azra yang mengenalkan dirinya sebagai Guru Besar Sejarah dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ini, buku Fouda justru mendapatkan apresiasi yang membabi buta. Dalam sampul depannya, Azyumardi menulis:

“Karya Farag Fouda ini secara kritis dan berani mengungkapkan realitas sejarah pahit pada masa Islam klasik. Sejarah pahit itu bukan hanya sering tak terkatakan di kalangan kaum Muslim, tapi bahkan dipersepsikan secara sangat idealistik dan romantik. Karya ini dapat menggugah umat Islam untuk melihat sejarah lebih objektif, guna mengambil pelajaran bagi hari ini dan masa depan”.

Komentar yang lebih hebat disampaikan Prof. Dr. Syafi`i Maarif yang memperkenalkan dirinya sebagai Guru Besar Filsafat Sejarah, Universitas Nasional Yogyakarta (UNY) dalam sampul belakang buku ini,

”Terlalu banyak alasan mengapa saya menganjurkan Anda membaca buku ini. Satu hal yang pasti: Fouda menawarkan ”kacamata” lain untuk melihat sejarah Islam. Mungkin Fouda akan mengguncang keyakinan Anda tentang sejarah Islam yang lazim dipahami. Namun kita tidak punya pilihan lain kecuali meminjam ”kacamata” Fouda untuk memahami sejarah Islam secara lebih autentik, obyektif dan komprehensif”.



Karenanya, tidaklah berlebihan jika kita mempertanyakan relevansi komentar Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Prof. Dr. Syafi`i Maarif yang memberinya sederet apresiasi tinggi terhadap buku Fouda ini, sebagai karya yang kritis, obyektif, autentik dan komprehensif. Apalagi mengharuskan masyarakat muslim Indonesia meminjam “kaca mata kuda” Fouda untuk memahami sejarah Islam!

Buku Kebenaran yang Hilang, karya Farag Fouda ini tidak layak dibaca kalangan umum dan harus dibaca secara kritis oleh kaum intelektual. Karena jika tidak, alih-alih menemukan kebenaran yang hilang, justru malah akan kehilangan akal sehat dan menghilangkan kebenaran!

Wallahu a`lam.

* Peniliti Bidang Sejarah Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Jakarta.

[1] Hilyat al-Awliya’, Abu Nu`aim al-Ashbahani, vol. 1 hal. 305.
[2] Marwiyyat al-Sirah al-Nabawiyyah, Akram al-`Umari, hal. 1.
[3] Taqrib al-Tahdzib, Ibn Hajar, vol. 2 hal. 78.
[4] Mizan al-I`tidal, al-Dzahabi, vol. 3 hal. 420 dan Lisan al-Mizan, Ibn Hajar, vol. 2 hal. 314.
[5] Marwiyyat Abi Mikhnaf fi Tarikh al-Thabari, DR. Yahya ibn Ibrahim al-Yahya, Dar al-`Ashimah, Riyadh.
[6] Marwiyyat Abi Mikhnaf, hal. 42-45.
[7] Mizan al-I`tidal, vol. 4 hal. 253-254.
[8] Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, Ibn Jarir al-Thabari, Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah-Beirut, vol. 1 hal. 13.
[9] Selama mengumpulkan sebagian data tulisan ini, penulis mencarinya melalui layanan google.co.id dengan menulis kata kunci Faraj Faudah (ejaan asli Bahasa Arab). Hasilnya, ratusian artikel dan tulisan tentang tokoh ini akan muncul di depan mata Anda dengan menyematkan gelar kepadanya sebagai Syahid al-Kalimah, Syahid al-Hurriyyah, Syahid al-Fikr dan lain sebagainya.
[10] http://www.rafatosman.com/vb/t5616.html
[11] http://www.almanaraljadeed.com/show....32667&pageid=1
[12] Kalimat dalam tanda kurung kurawal diterjemahkan langsung dari teks Arab buku KYH, karena penerjemahannya kurang tepat, pen.
[13] Hasyiyat al-`Awashim min al-Qawashim, Muhibbuddin al-Khathib, hal. 142
[14] Pencantuman catatan kaki kisah ini terasa janggal, selain tidak terdapat dalam naskah Arab yang dimiliki penulis (format pdf terbitan Dar al-Nadwah), juga data bukunya yang sangat lengkap tidak lazim dengan cara penyebutan rujukan yang biasa dilakukan Fouda dalam buku ini.
[15] Thaha Husain; al-Majmu`ah al-Kamilah; al-Khulafa’ al-Rasyidun, al-Syarikah al-`Alamiyyah li al-Kitab-Beirut, vol. 4 hal. 366-367
[16] Fitnat Maqtal `Utsman ibn `Affan, Muhammad al-Ghabban, hal. 426.
[17] Buku DR. Muhammad Amahzun ini telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh DR. Daud Rasyid dkk. dengan judul Fitnah Kubra
[18] Tahqiq Mawaqif al-Shahabah, vol. 2 hal. 14.
[19] Ibid, vol. 2 hal. 16.
[20] Ibid, vol. 2 hal. 17.
[21] Ibid, vol. 2 hal. 23.
[22] Ibid, vol. 2 hal. 19-41.
[23] Buku ini telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan judul Peran Politik Wanita, terbitan Pustaka al-Kautsar.
[24] Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Ibn Jarir al-Thabari, vol. 2 hal. 687.
[25] Al-Thabaqat al-Kubra, Ibn Sa`ad, vol. 3 hal. 77-78.
[26] Fitnat Maqtal `Utsman, hal. 260-261
[27] Al-Khilafah al-Rasyidah min Fath al-Bari, DR. Yahya al-Yahya, Dar al-Hijrah-Riyadh, 1996, hal. 453-458.
[28] Sunan al-Tirmidzi, no. hadits 3785, dalam: Utsman ibn `Affan ra.; Syakhshiyyatuh wa `Ashruh, DR. Ali Muhammad al-Shallabi, Dar al-Fajr li al-Turats-Kairo, 2004, hal. 41.
[29] Al-Thabaqat al-Kubra, vol. 3 hal. 108-109.
[30] `Ashr al-Khilafah al-Rasyidah, hal. 241-245.
[31] Al-Haqiqah al-Gha’ibah, Faraj Faudah, http://www.daralnadwa.com, format pdf, hal. 19.

0 komentar: