Yang Pecah Di Bawah Purnama

“Terdengar jeritan tepat setelah kumandang adzan subuh selesai. Seorang perempuan berbadan kurus, berumur tiga puluh dua tahun, kepalanya tertutup kerudung warna hitam, mendekap bocah perempuan yang mengigil ketakutan sambil menangis sesenggukan. Tubuh perempuan itu bergetar hebat—entah karena mencoba menahan tangis atau amarah. Di depan mereka, mayat seorang laki-laki terbujur tak bernyawa, bersimpah darah, dengan luka di sekujur tubuhnya. Di dahi laki-laki itu ada sebuah lubang sebesar jari kelilingking, yang masih mengeluarkan darah segar, yang menetes ke lantai.

” Raihana terdiam sejenak, mengatur nafasnya yang setengah memburu, kemudian melanjutkan kata-katanya, “Itulah saat aku dan ibuku melihat mayat ayah tergeletak di beranda rumah, tepat di depan pintu masuk. Saat itu, umurku baru sembilan tahun. Meski sudah tiga belas tahun yang lalu peristiwa itu terjadi, tapi masih menganga lebar dalam benakku.” Sunyi suasana dalam ruang penjara. Diani, kawan satu sel Raihana hanya diam membatu. Matanya menatap awas jeruji-jeruji besi yang telah memisahkan mereka dengan kebebasan. Mata Diani yang agak lebar terlihat menyala seperti memendam bara, yang setiap saat bisa berubah menjadi kobaran. Terlihat kaku. Wajahnya seakan-akan menahan beban masa lalu yang begitu berat. Setelah mendesah panjang, Diani kemudian berkata, “Memang bajingan tentara-tentara itu. Mereka telah mengambil semua yang kita miliki, termasuk harga diri kita. Ayah kita diperlakukan seperti anjing, dibantai dengan semena-mena dan mayatnya dibuang seenaknya. Sementara ibu kita, saudara perempuan kita dan kita sendiri menjadi korban perkosaan. Rakyat Aceh tidak memiliki apa-apa lagi sekarang, selain rantai penindasan itu sendiri.”



Suasana sunyi mengambang. Dari arah luar, terdengar suara lonceng yang ditalu sebelas kali, memukul jantung sunyi. Raihana bangkit dari tempat tidurnya yang hanya berupa tembok dingin beralas selembar tikar, yang telah sobek di dimakan usia. Dia berjalan menuju jeruji besi. Dicengkramnya jeruji itu dengan tangan-tangannya yang mungil, cengkraman yang kecil tapi kuat.
“Sejak kapan kau bergabung dengan GAM?” tanya Raihana tanpa menoleh pada Diani.
“Sejak suamiku diculik dan kemudian dibunuh oleh orang-orang berambut cepak. Sebelumnya, aku tidak peduli dengan GAM dan tentara. Terus terang, aku sudah bosan dengan peperangan yang tiada henti ini. Suara tembakan, kabar penculikan, mayat-mayat yang baru ditemukan, berita perkosaan, benar-benar membuat hatiku luruh. Tapi kejadian malam itu akhirnya memaksaku untuk memilih: berpihak pada GAM atau tentara. Dan ternyata, aku memilih berpihak pada GAM. Aku kemudian menjadi Inong Balee.” “Memangnya, suamimu anggota GAM?” “Bukan. Dia sebetulnya hanya petani biasa. Kami mempunyai tanah warisan yang tidak begitu luas, tapi cukup untuk memenuhi hidup sehari-hari. Tanah itu kami tanami dengan tanaman kebutuhan sehari-hari. Kehidupan kami sederhana, tapi kami bahagia. Suamiku seorang pekerja keras, walau cuma lulusan SD.”

“Kenapa suamimu ditangkap?”
“Dikhianati kakaknya sendiri.”
“Kakaknya sendiri?”
“Ya. Setelah kematian ibu suamiku, kakaknya ingin menguasai seluruh harta warisan. Kakak suamiku kemudian menyebar kabar bohong bahwa suamiku anggota GAM. Sebetulnya, itu merupakan buntut dari pertengkaran yang sudah berlangsung selama tiga tahun. Kakak suamiku menghendaki agar dia mendapat jatah warisan yang lebih besar. Tapi orang tuanya malah membagi tanah warisan menjadi dua sama besar.” Diani berhenti sejenak, matanya kelihatan menerawang. Mungkin ia sedang mengingat-ingat peristiwa yang terjadi empat tahun lalu

“Aku ingat, waktu itu hari minggu. Ketika sedang di ladang, suamiku bertemu dengan Dulah, salah seorang anggota GAM yang paling dicari-cari di kampung kami. Tepat malam harinya setelah pertemuan itu, lima orang berbaju doreng dengan senjata laras panjang bersama kakak suamiku, mendatangi rumah kami. Kebetulan aku sendiri yang membuka pintu yang digedor-gedor dari luar. Begitu pintu kubuka, mereka langsung masuk, mengobrak abrik seisi rumah, memasuki kamar kami dan akhirnya menemukan suamiku yang sedang sholat. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, suamiku yang sedang rukuk diberondong peluru dari belakang. Ia hanya sempat mengaduh sebentar dan kemudian roboh. Sajadahnya yang penuh noda darah masih kusimpan hingga kini,” kata Diani dengan suara yang pelan, tapi penuh amarah.

Mereka berdua terdiam. Sepi mengambang lagi. Terlihat butiran-butiran air mata di pipi Diani. Segera dia menghapus air mata itu agar tidak terlihat Raihana yang berjalan menuju tempat tidurnya.
“Sebagai tentara GAM, pernahkah kau membunuh?” tanya Raihana setelah membetulkan letak kerundung kremnya, yang bermotif bunga-bunga.
“Pernah, sekali.”
“Siapa yang kau bunuh?”
“Kakak suamiku.”
“Kakak suamimu?” Raihana berusaha menyakinkan apa yang baru didengarnya. Ditatapnya mata Diani lekat-lekat.
“Ya. Pada sebuah malam, aku cegat dia dalam perjalan pulang menuju rumahnya. Kuberondong tubuhnya dengan peluru yang keluar dari AK 47 dan dia pun mati seketika. Setelah mati, kucongkel kedua bola matanya. Sekarang, bola mata itu masih disimpan oleh temanku yang ada di luar.” Diani terdiam sejenak, mencoba menahan emosinya.
“…..”
“Sebetulnya, itulah motivasiku ketika pertama kali masuk GAM: membalas dendam. Tapi setelah aku bergerilya dari satu tempat ke tempat lain, dan bertemu dengan perempuan-perempuan yang kehilangan suaminya, perempuan yang baru diperkosa oleh tentara, dan menemukan banyak tengkorak kepala rakyat Aceh di bukit tengkorak, aku akhirnya jadi benar-benar berjuang untuk rakyat Aceh,” kata Diani dengan penuh kesungguhan.
“Kau sudah punya anak?”
“Waktu suamiku ditembak, aku sedang hamil delapan bulan. Sekarang umur anak perempuanku sudah tiga tahun lebih. Aku titipkan dia pada ibuku,” Diani mendesah. “Sering kali aku merindukannya. Hanya tiga bulan dia sempat kususui,” kata Diani datar, mencoba memendam kerinduan pada buah hatinya.
Malam semakin larut. Suasana dalam penjara benar-benar sepi. Kadang-kadang kalau angin sedang bertiup kencang, terdengar aliran sungai di samping penjara. Memang, penjara itu terletak di pinggir Kali Panayong yang airnya akan berkilau setiap purnama menatapnya.“Kau belum mengantuk?” kata Diani memecah kesunyian malam.

Raihana yang sedang berusaha mengusir kecoak yang berjalan di dekat kakinya menjawab, “Sejak masuk dalam penjara, aku jadi sulit tidur.”
“Aku juga begitu ketika pertama kali masuk penjara. Rasanya aneh. Kita yang biasanya bergererilya dari hutan satu ke hutan yang lain, tiba-tiba harus hidup dalam ruangan sesempit ini. Kebebasan memang tidak bisa dibayar oleh apapun.” Diani batuk-batuk.“Kulihat kau sering menulis di malam hari. Menulis apa?” Diani bertanya lagi.“Aku suka menulis puisi. Itu kulakukan untuk membunuh rasa sepi yang sering datang menyerangku.”
“Oh. Kau sendiri ditangkap karena apa?”
“Demonstrasi. Aku dan kawan-kawanku membakar gambar Mega-Hamzah pada tanggal 16 Juni 2002 kemarin. Setelah demo itu, aku kemudian ditangkap.“Aku juga mendengar berita itu. Ternyata, kau ya yang memimpin.”
“Ya, aku. Oh iya, aku mau tanya. Apa sebagian besar yang dipenjara di sini anggota GAM juga?”
“Ya, begitulah. Tapi banyak juga yang sebetulnya tidak ada sangkut pautnya dengan GAM. Coba kau lihat perempuan itu.” Diani menunjuk seorang tahanan perempuan yang ada di depannya.
“Kenapa dengan dia? Aku lihat siang tadi, dia hanya berdiri sambil menghormat dan menghadap ke arah dinding.”“Dia cuma ibu rumah tangga biasa. Anaknya-lah yang dituduh sebagai anggota GAM. Selama berbulan-bulan, anaknya itu dicari-cari tentara dan hingga kini belum juga ditemukan. Maka, perempuan itulah yang dijadikan sandera.”
Lantas?”
“Dia dibawa ke Kantor Koramil dan dikerangkeng di sana. Setiap jam tujuh pagi sampai jam dua belas siang, dia disuruh menghormat bendera merah putih. Sorenya, jam empat sampai magrib juga diharuskan melakukan hal yang sama.” Jadi tadi siang itu, dia berdiri sambil menghormat karena masih mengingat kebiasannya waktu ditahan di Koramil itu?” “Mungkin. Setelah tiga bulan ditahan disana, dan mengalami tekanan demi tekanan, akhirnya perempuan itu jadi gila sampai saat ini.” Keduanya terdiam, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Udara di dalam sel semakin dingin menggigit. Raihan maupun Diani kelihatan sama-sama agak menggigil.
“Aku tidur dulu ya,” kata Diani datar. “ Ya.” Raihana duduk terpekur, bersandar pada dinding penjara. Beberapa kali tangannya digerak-gerakkan untuk mengusir nyamuk yang berterbangan di sekitar kepalanya, sambil sesekali mendesah.
***
Setahun yang lalu, Raihana cuma perempuan biasa. Seperti remaja-remaja lainya, dia sering berkumpul dengan teman-temannya sesama perempuan dan bergosip tentang apa saja—mulai dari laki-laki idaman sampai kadang-kadang juga bintang sinetron atau bintang film India, seperti Sharukh Khan.
Perubahan dalam dirinya mulai terjadi ketika dia menjadi mahasiswi Universitas Syahkuala, Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan, jurusan bahasa Inggris—dia memilih jurusan itu karena sejak SMA sudah tergila-gila dengan karya Shakespeare, terutama Romeo and Juliet, dan Hamlet. Disana, Raihana mengenal Hidayat, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syahkuala angkatan ’97, yang kemudian mengenalkannya pada dunia gerakan mahasiswa. Hidayat sempat menjadi kekasihnya walau tidak lama—laki-laki itu ternyata lebih memilih perempuan lain. Meski kecewa, sebetulnya Raihana masih menyimpan sisa cintanya, hingga kini. “Tidak ada perempuan yang mau diduakan, tidak juga ibumu,” begitu Raihana ketika perpisahannya dengan Hidayat terjadi. Kisah cintanya bersama Hidayat memang sudah berakhir. Namun cinta Raihana terhadap dunia gerakan mahasiswa ternyata bertambah dalam—apalagi ketika melihat keadaan rakyat daerahnya yang semakin menderita. Raihana kemudian menjadi aktivis perempuan yang aktif dan disegani.
***
Malam terus merangkak. Diani kelihatan sudah tertidur pulas, namun tidak demikian dengan Raihana. Dari sudut, ia sedang memandangi Diani, kawan seselnya yang belum lama dia kenal, tapi di antara mereka berdua seperti sudah ada rajutan benang yang kuat. Mungkin penderitaan dan penindasan yang menjadikan mereka berdua menjadi dekat. Dan mungkin itu juga yang membuat Raihana mau bercerita secara terbuka pada Diani tentang apa saja, termasuk tujuan-tujuan politik organisasinya.
Suasana yang sepi kemudian menjadi agak gaduh ketika terdengar pintu gembok bagian luar dibuka. Setelah itu, disusul terdengar suara beberapa langkah kaki yang berat, yang terpantul-pantul di sepanjang lorong penjara. Mendengar itu, Raihana turun dari tempat tidurnya, berjalan menuju jeruji besi, membelalakkan matanya dalam gelap, berusaha melihat siapa yang datang. Namun, tidak dilihatnya siapa-siapa. Barulah beberapa saat kemudian, tampak tiga orang laki-laki berbadan tegap berjalan ke arahnya. Sebelum tiga laki-laki itu benar-benar mendekat dan memergokinya sedang melongokkan kepala di antara jeruji, Raihana bergegas kembali ke tempat tidurnya, dan pura-pura tidur. Tidak lama kemudian, terdengar gembok pintu sel Diani dipukul-pukul dengan tongkat besi sambil disertai teriakan, “Bangun!Bangun!” Baik Raihana yang pura-pura tidur maupun Diani yang benar-benar tertidur sama-sama bangun. Diani kelihatan agak kaget, sementara Raihana yang sebetulnya sudah tahu kedatangan tiga orang itu, yang kini berdiri persis di depan pintu selnya, pura-pura mengucek-ngucek mata.
“Ayo cepat bangun!” terdengar teriakan lagi. “Siapa yang namanya Raihana?” kata lelaki berbadan agak gemuk, dengan kumis melintang di atas bibirnya.
“Saya Pak,” jawab Raihana. “Ayo ke sini. Segera ikut kami,” kata lelaki bertubuh jangkung dan bermata lebar.
Dengan pelan, Raihana melangkah menuju pintu sel. Seorang lelaki agak tua yang rambutnya sudah banyak ubannya, dan pekerjaan sehari-hari memang menjadi sipir di penjara ini, membuka gembok. Terdengar pintu sel terbuka. Raihana kemudian dipersilahkan keluar. “Barang saya perlu dibawa, Pak?” tanya Raihana sebelum keluar. “Tidak usah!” kata lelaki berbadan agak gemuk tadi. Dalam benak Raihana muncul pikiran kalau dirinya mungkin akan diintrograsi. Memang sudah biasa introgasi tengah malam dilakukan, ketika tahanan masih dalam keadaan bingung dan lemas karena baru bangun tidur. Sebelum keluar dari selnya, Raihana sempat menoleh sebentar ke arah Diani yang hanya duduk tertunduk di pinggir tempat tidurnya. Pintu sel digembok kembali. Langkah empat orang itu terdengar semakin lama semakin jauh, meninggalkan para tahanan yang masih tertidur pulas, dan beberapa yang tampak mengintip takut-takut dari balik sel. ***
Setelah menempuh perjalan setengah jam, Rahaina dan beberapa orang yang membawanya sampai di sebuah perkebunan. Rupanya setelah dijemput dari selnya tadi, Raihana langsung dibawa pergi meninggalkan LP. Mobil Kijang yang membawanya berhenti di pinggir jalan. Di bawah sinar bulan purnama yang menerangi jalanan setapak, bayangan mereka kadang tampak, kadang menghilang. Mereka seakan berjalan tanpa suara, hanya bunyi serangga yang terdengar di sepanjang perjalanan. Raihana berjalan paling depan. Sesekali, dia tampak menengadahkan kepala, mencoba melihat bulan purnama yang bersinar indah tepat di atasnya. Rupanya, sudah lima purnama dia lalui dalam penjara. Dulu ketika masih berpacaran dengan Hidayat, mereka selalu pergi ke pinggir pantai di setiap malam bulan purnama. Pantai favoritnya adalah Pantai Lampu’uk. Di pantai itu, yang letaknya tidak jauh dari pusat Kota Banda Aceh, kurang lebih 12 km arah barat kota, Raihana bebas memandang laut yang tampak berkilau tertimpa sinar bulan. Setelah berjalan lima belas menit, mereka berempat berhenti di bawah pohon yang besar. Rupanya di tempat itu sudah ramai. Ada sekitar enam orang, yang semuanya laki-laki, sudah menunggu di tempat ini. Tiga orang yang mengiringi Raihana memberi hormat pada seorang lelaki yang kelihatannya adalah komandan mereka. Kau yang bernama Raihana?” kata laki-laki itu, sambil berjalan mendekati Raihana.
“Ya,” jawab Raihana singkat sambil matanya menatap bulan purnama, yang entah bagaimana kini sudah ada di hadapannya. “Apa yang kau lakukan selama ini?” “Membuat bulan purnama itu agar tidak berwarna merah.” “Apakah kau anggota GAM?” “Sekarang bulan purnama itu berwana merah.” Komandan itu bingung mendengar kata-kata Raihana. Karena penasaran, dia kemudian memandang bulan purnama. Tingkah komandan itu serentak diikuti oleh seluruh anak buahnya. Namun karena tidak menemukan sesuatu yang aneh, komandan itu kembali menatap Raihana. “Apakah kau anggota organisasi kiri?!” Kali ini, suaranya sengaja dibuat menggelengar.
“Dilumuri oleh darah penghuninya sendiri,” kata Raihana setengah mendesis. Komandan itu mulai tampak gusar. Tidak satu pun pertanyaanya dijawab oleh Raihana. Dengan setengah membentak, dia kembali bertanya, “Apakah kau mau membuat Aceh menjadi negara komunis?!”
“Sekarang darah itu menetes,” kata Raihana masih dengan mendesis. Kini, komandan itu tidak peduli lagi dengan kata-kata yang diucapkan Raihana.
”Aku sudah tahu semua rencana kalian,” kata komandan itu. “Semuanya sudah kami ketahui. Diani sudah menyampaikan semuanya pada kami,” lanjutnya lagi. Mendengar nama Diani disebut, Raihana langsung memandang wajah komandan yang tampak sedang tersenyum penuh kemenangan. Hanya sekilas, Raihana kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke bulan purnama. “Diani itu orang kami,” kata komandan itu sambil membalikkan tubuhnya, berjalan meninggalkan Raihana. Tak lama kemudian, seorang laki-laki berjalan mendekati Raihana. “Sekarang waktumu telah tiba. Bersiap-siaplah,” katanya. Raihana tidak memperhatikan kata-kata itu, dia tetap memandang bulan purnama, sambil sesekali mendesah. “Sekarang darah itu menetes.” Setelah berkata seperti itu, Raihana memadang laki-laki yang ada di dekatnya dengan tajam. Meski tampak tegar, tapi kata-kata Raihana terdengar agak bergetar, “Sejak lahir, aku sudah siap.” Itulah kalimat terakhirnya. “Sekarang berbaliklah!” kata laki-laki itu lagi. Raihana tidak menjawab, dan juga tidak berbalik. Dia justru kembali memandang bulan purnama.
“Berbaliklah!” kata lelaki itu lagi, dengan suara keras sampai badannya berguncang.
Namun Raihana tidak berbalik, dia tetap memandang bulan purnama. Dan karena Raihana tidak mau berbalik, lelaki itu akhirnya berjalan memutar. Setelah berada tepat di belakang Raihana, diarahkannya pistol yang dipegangnya sejak tadi ke kepala perempuan yang ada di depannya.
“Dor!Dor!” Suara letusan terdengar membelah kesunyian malam. Tubuh Raihana roboh, membentur tanah. Bergerak-gerak sebentar, kemudian membatu. Tampak darah mengalir dari lubang di kepalanya. Darah seorang perempuan Aceh yang tertumpah demi rakyat yang diperjuangkannya, yang mati di atas tanahnya sendiri, Tanah Rencong Aceh. Kepala Raihana telah pecah di bawah purnama.
__________________
"Sedikit ide yang kau tuangkan dalam karya, akan lebih berarti daripada seribu kata yang terucap"

0 komentar: